Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #21

Semua Kartu di Atas Meja

Gudang di Ancol kini telah berubah menjadi ruang interogasi dadakan. Bau anyir darah dan debu mesiu bercampur dengan aroma kemenangan yang terasa aneh dan tidak memuaskan. Di tengah ruangan, Budi terduduk di sebuah kursi kayu, tangannya terikat erat di belakang. Wajahnya lebam, kemeja sutranya yang mahal kini ternoda oleh darah dan kotoran, namun matanya masih menyala dengan api arogansi yang belum padam.

Di hadapannya, berdiri sisa-sisa kawanan yang telah ia khianati. Angkasa menatapnya dengan sorot mata yang dingin dan kosong, seolah sedang menatap orang asing. Di sampingnya, Dika mondar-mandir seperti macan yang gelisah, tangannya terkepal, menahan hasrat untuk menghabisi Budi saat itu juga. Nova bersandar di dinding, lengannya bersedekap, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun, namun tatapannya tak pernah lepas dari setiap gerak-gerik Budi. Melalui earpiece yang terpasang di telinga Angkasa, suara Tio terdengar, memberikan laporan bahwa seluruh area telah aman dan terkendali.

"Siapa bos lo, Bud?" tanya Angkasa, memulai interogasi. Suaranya datar, tanpa nada.

Budi tersenyum sinis. "Telat, Ang. Kalian semua udah telat," katanya, suaranya serak.

"GUE TANYA SIAPA NAMA BOS LO!" bentak Dika, tak mampu lagi menahan amarahnya. Ia melangkah maju, namun lengan Angkasa yang terangkat menghentikannya.

"Biarin gue aja yang bikin dia ngomong, Ang!" geram Dika.

"Dia enggak akan ngomong kalau kita pakai otot, Dik," balas Angkasa, matanya tak pernah lepas dari Budi. Ia tahu, Budi yang sekarang tidak akan hancur oleh rasa sakit fisik. Ia harus menghancurkannya dari dalam.

Budi tertawa kecil, menikmati perpecahan kecil di antara mereka. Ia melirik ke arah Nova. "Percuma lo nangkep gue, Nov. Hati Angkasa itu udah bukan buat lo lagi. Dia lebih milih dunianya Bunga yang bersih." Lalu ia menatap Dika. "Dan lo ... sehebat apa pun lo berantem, lo cuma bakal jadi anjing penjaganya selamanya."

Setiap kata adalah racun yang dirancang untuk memecah belah. Namun, Lima Serigala yang sekarang bukanlah Lima Serigala yang beberapa minggu lalu. Mereka telah melewati api pengkhianatan dan fitnah. Ikatan mereka kini lebih kuat.

"Kami enggak punya banyak waktu buat main-main sama lo, Bud," kata Angkasa dingin. "Gue udah tahu semuanya. Soal rumah ibu lo."

Seketika, senyum di wajah Budi membeku. Arogansinya retak untuk pertama kalinya.

"Gue tahu lo lakuin semua ini buat nebus rumah itu," lanjut Angkasa, suaranya kini seperti bisikan mematikan. "Lo pikir Lingkar Emas bakal nepatin janji mereka? Lo pikir mereka peduli sama ibu lo?"

Lihat selengkapnya