Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #23

Satu Peluru Terakhir

Abu dan keputusasaan adalah udara yang mereka hirup. Di dalam sebuah gudang tua di sudut terlupakan Jakarta Timur, salah satu dari belasan titik aman darurat yang pernah Tio siapkan untuk skenario terburuk, sisa-sisa Lima Serigala yang hancur mencoba untuk bernapas. Angkasa, Dika, dan Nova. Hanya mereka bertiga. Mereka adalah hantu di kota mereka sendiri, buronan di kerajaan yang pernah mereka bangun. Markas mereka telah menjadi arang. Pasukan mereka tercerai-berai, sebagian besar mungkin telah ditangkap atau lebih buruk lagi. Nasib Tio dan Bunga adalah sebuah lubang hitam yang menyiksa pikiran Angkasa setiap detiknya.

Selama dua hari, mereka hanya diam dalam keterkejutan. Dika, sang monster lapangan, kini hanya duduk di sudut, membersihkan pisaunya berulang kali dengan gerakan mekanis, matanya menyala dengan api dendam yang tak bisa ia salurkan. Nova, sang pilar yang pragmatis, menjadi perawat mereka. Ia membersihkan luka goresan Angkasa, memastikan mereka punya cukup air minum, dan terus-menerus mencoba menghubungi sisa-sisa jaringan mereka melalui ponsel, namun yang ia temukan hanyalah keheningan. Kekalahan itu begitu total, begitu absolut, hingga terasa seperti akhir dari segalanya.

Angkasa merasakan beban terberat. Setiap bayangan Tio yang terkapar, setiap teriakan anak buahnya yang hilang, adalah tanggung jawabnya. Ia telah memimpin mereka ke dalam pembantaian. Ia telah dibutakan oleh kemenangan sesaat saat menangkap Budi, dan ia telah menggiring seluruh kawanannya masuk ke dalam jebakan yang sempurna. Rasa bersalah itu menggerogotinya, lebih menyakitkan dari luka fisik mana pun. Ia menatap tangannya yang terkepal, tangan seorang petarung, dan sadar bahwa di perang ini, tangannya tidak lagi berguna.

Di puncak keputusasaannya, saat ia merasa tidak ada lagi jalan keluar, ia teringat pada aset terakhir mereka. Bukan uang, bukan orang, bukan senjata.

Melainkan informasi.

“Nov, laptop lo masih ada?” tanyanya, suaranya serak, memecah keheningan yang menyesakkan.

Nova mengangguk, menunjuk sebuah tas ransel usang di sudut.

Dengan langkah berat, Angkasa membuka laptop itu. Ia tidak membuka data operasional mereka yang kini sudah tidak berarti. Ia membuka sebuah akun email rahasia yang terenkripsi, sebuah jalur komunikasi darurat yang hanya ia dan Tio yang tahu. Jantungnya berdebar kencang. Ia berharap, berdoa, agar ada sesuatu di sana.

Dan doanya terjawab.

Ada satu email baru yang belum dibaca, dikirim dari akun Tio beberapa menit sebelum markas mereka diserang. Subjeknya hanya satu kata: “Asuransi”.

Isinya pun singkat.

Pintu masuknya ada di yayasan itu, Ang. Pakai ini. Kalau gue enggak selamat, habisi mereka semua buat gue.

Di bawah pesan itu, terlampir sebuah file yang terenkripsi dengan kata sandi yang sangat rumit.

Lihat selengkapnya