Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #24

Runtuhnya Kerajaan Kertas

Bom itu telah meledak.

Dari persembunyian mereka di gudang tua yang pengap, Angkasa, Dika, dan Nova menyaksikan gelombang kejut dari ledakan itu menyebar ke seluruh penjuru kota melalui layar laptop mereka. Artikel investigasi Ratih bukan lagi sekadar berita; ia telah menjadi sebuah tsunami digital. Dalam beberapa jam pertama, tagar #HartonoSindikat merajai trending topic, didorong oleh ribuan cuitan kemarahan, meme-meme sinis, dan utas-utas spekulasi dari netizen yang seolah menemukan musuh bersama yang baru.

Efeknya merambat lebih cepat dari api. Media-media besar yang tadinya bungkam, kini, karena takut dicap sebagai antek koruptor oleh publik yang sedang mengamuk, mulai ikut memberitakan skandal itu. Wajah Hartono Wijoyo yang selama ini selalu tampil berwibawa di halaman-halaman bisnis kini terpampang di mana-mana, disandingkan dengan kata-kata seperti "mafia", "korupsi", dan "yayasan fiktif". Mereka telah berhasil mengubah opini publik menjadi senjata, dan senjata itu kini sedang menembak ke segala arah.

Di dalam sebuah penthouse mewah yang menghadap ke jantung Segitiga Emas Jakarta, Hartono Wijoyo membanting tabletnya ke lantai marmer hingga layarnya retak seribu. Wajahnya yang biasanya tenang dan terkendali kini memerah karena amarah yang tak tertahan. Ia mondar-mandir di ruangannya yang luas, berteriak-teriak di telepon kepada para bawahannya.

"CARI JURNALIS ITU! BUAT DIA BUNGKAM!" perintahnya pada kepala keamanannya.

"Sudah terlambat, Pak," jawab suara di seberang. "Beritanya sudah di mana-mana. Tim siber kami mencoba menurunkannya, tapi setiap satu tautan kami hapus, seratus tautan baru muncul."

"MEDIA MANA?! SEMUA ORANG MEDIA YANG SUDAH KITA BAYAR?!" teriaknya pada telepon yang lain, pada kepala tim humasnya.

"Mereka semua lepas tangan, Pak. Tidak ada yang berani membela Bapak saat ini. Isunya terlalu panas. Mereka takut ikut terbakar."

Hartono membanting teleponnya. Ia menatap ke luar jendela kacanya yang besar, ke arah kota yang kini seolah sedang meneriakkan namanya dengan kebencian. Kerajaan yang ia bangun selama puluhan tahun di atas fondasi uang, ancaman, dan koneksi politik, kini sedang digerogoti oleh senjata yang tidak pernah ia perhitungkan dengan serius: kemarahan publik. Para politisi yang dulu makan dari tangannya kini tidak menjawab panggilannya. Para jenderal yang dulu melindunginya kini berpura-pura tidak mengenalnya. Kerajaan kertasnya mulai terbakar.

Tekanan publik itu akhirnya menjadi terlalu besar untuk diabaikan. Di tingkat tertinggi penegak hukum, di mana beberapa pejabat bersih masih tersisa, artikel itu menjadi amunisi yang mereka butuhkan. Bukti-bukti digital yang dipaparkan Ratih, rekening koran, akta palsu, aliran dana, terlalu kuat untuk dibantah. Pagi harinya, Komisi Pemberantasan Korupsi, bergerak.

Lihat selengkapnya