Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #25

Harga Kemenangan

Asap sudah lama hilang dari puing-puing markas mereka di Tebet, namun bau hangus dan kenangan pahit masih melekat di udara. Angkasa berdiri seorang diri di tengah-tengah kerangka bangunan yang menghitam itu. Di sinilah dulu mereka tertawa, merancang mimpi, dan memulai sebuah pemberontakan kecil yang kini telah mengguncang seluruh kota. Kemenangan atas Sindikat, yang dirayakan oleh media dan dibisikkan dengan kekaguman di jalanan, terasa begitu jauh dan abstrak di tempat ini. Di hadapannya, yang nyata adalah kehancuran. Papan tulis yang dulu menjadi saksi bisu strategi mereka kini hanyalah benda tak berbentuk. Sofa butut tempat mereka biasa berbagi cerita kini telah menjadi arang. Ini adalah monumen dari harga yang harus mereka bayar.

Dika dan Nova berdiri di belakangnya, dalam keheningan yang penuh hormat. Mereka tidak mencoba menghibur. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk membalut luka semacam ini. Mereka hanya menemani, tiga serigala yang tersisa, berdiri di atas abu dari sarang mereka yang telah terbakar.

Sebuah sedan hitam mewah berhenti dengan mulus di ujung jalan. Pintu belakang terbuka, dan Bang Jago melangkah keluar, mengenakan kemeja batik berwarna gelap. Ia berjalan mendekat, wajahnya menunjukkan ekspresi duka yang tulus. Ia berhenti di samping Angkasa, ikut menatap puing-puing itu.

“Gue turut berduka, Ang,” katanya pelan, suaranya berat. “Kalian sudah berjuang keras. Kalian sudah menang. Ini,” ia menunjuk ke arah kehancuran itu, “hanyalah luka perang. Bisa dibangun kembali.”

Angkasa hanya mengangguk, tidak sanggup bicara.

“Ada kabar baik,” lanjut Bang Jago, mencoba mengangkat suasana. “Tio dan Bunga aman. Mereka selamat.”

Kabar itu seperti setetes air di tengah gurun. Angkasa, Dika, dan Nova langsung menoleh serempak, tatapan mereka penuh dengan kelegaan yang luar biasa.

“Di mana mereka, Bang? Keadaan mereka gimana?” tanya Angkasa cepat.

“Tio lukanya parah, tapi dia kuat. Dia sudah melewati masa kritisnya. Bunga hanya luka ringan,” jelas Bang Jago. Ia menatap Angkasa dengan sorot mata seorang mentor yang bijaksana. “Gue sengaja pindahin mereka malam itu tanpa memberitahu kalian. Maaf kalau itu bikin kalian cemas. Tapi keadaan terlalu kacau, gue enggak tahu siapa yang bisa dipercaya atau siapa yang sedang memantau komunikasi kita. Gue harus memastikan aset kita yang paling berharga, otak kelompok lo dan putri gue aman di atas segalanya.”

Penjelasan itu begitu logis, begitu masuk akal, hingga menghapus semua keraguan kecil yang sempat muncul di benak Angkasa. Di tengah kekacauan, tindakan Bang Jago adalah tindakan seorang pemimpin yang berpengalaman. Ia kembali merasa berhutang budi. “Terima kasih, Bang. Terima kasih sudah melindungi mereka.”

Bang Jago mengangguk. “Itulah gunanya aliansi.” Ia kemudian memberi isyarat pada Angkasa untuk sedikit menjauh dari Dika dan Nova. “Ada satu urusan terakhir yang perlu kita selesaikan. Satu benang kusut yang belum terurai.”

Angkasa tahu apa yang ia maksud. Budi.

“Anak buah gue menahannya di sebuah tempat aman sejak malam penyergapan itu,” kata Bang Jago, nadanya kini berubah serius, tanpa emosi. “Dia sudah bicara. Dia mengakui semuanya. Anak itu pengkhianat, Ang.”

Ia berhenti, menatap Angkasa lekat-lekat, seolah sedang menimbang jiwanya.

Lihat selengkapnya