Beberapa minggu setelah kejatuhan Lingkar Emas, Lima Serigala mulai membangun kembali kerajaan mereka di atas puing-puing kemenangan. Markas baru mereka, sebuah gudang logistik luas yang disumbangkan oleh Bang Jago kini ramai dengan aktivitas. Dinding yang dulu kosong kini dipenuhi papan tulis berisi rencana-rencana bisnis. Truk-truk boks dengan logo baru "Serigala Perkasa" mulai lalu-lalang, sebuah tanda bahwa operasi mereka kini telah merambah ke tingkat yang lebih profesional. Di bawah arahan Tio, yang kini bergerak menggunakan kursi roda namun dengan otak yang lebih tajam dari sebelumnya, sistem digital mereka dibangun kembali, lebih kuat dan lebih aman. Dika, dengan wibawa barunya, berhasil menenangkan dan mengonsolidasi kembali ratusan juru parkir mereka di lapangan. Semuanya bergerak maju.
Namun, di tengah-tengah kesibukan membangun kembali itu, ada satu retakan yang tidak kunjung sembuh. Sebuah keheningan yang canggung dan dingin di antara Angkasa dan Nova. Mereka bekerja bersama, duduk di rapat yang sama, membahas masalah yang sama, namun mereka seperti dua orang asing yang hanya terhubung oleh pekerjaan. Sapaan mereka singkat, tatapan mereka selalu menghindar. Kehangatan dan cengengesan yang dulu menjadi perekat di antara keduanya kini telah lenyap, digantikan oleh profesionalisme yang terasa seperti dinding es.
Semua orang di markas merasakannya. Dika dan Tio seringkali saling pandang dengan cemas saat Angkasa dan Nova berbicara dengan nada yang terlalu formal. Bunga, dengan kepekaannya, mencoba mencairkan suasana namun selalu gagal. Angkasa tahu, kawanan mereka mungkin telah utuh secara jumlah, namun jiwanya masih terbelah dua. Ia bisa menaklukkan sebuah kota, tapi ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki jembatan yang telah ia bakar dengan tangannya sendiri.
Katalis itu datang di suatu sore yang biasa. Angkasa sedang berjalan melintasi area operasional saat ia melihatnya. Nova sedang berdiri di dekat salah satu truk, berbicara dengan Ujang, koordinator lapangan mereka yang paling senior. Ujang menceritakan sebuah lelucon, dan Nova tertawa. Itu bukan tawa sinis atau senyum tipis yang biasa ia pasang selama ini. Itu adalah tawa lepas yang tulus, tawa yang sama yang dulu sering Angkasa dengar saat mereka masih berbagi sebungkus Indomie di atas jembatan kereta.
Melihat tawa itu, hati Angkasa serasa diremas. Ia sadar betapa ia merindukan suara itu. Ia sadar betapa besar kerusakan yang telah ia timbulkan. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia tidak bisa memimpin sebuah keluarga jika jantung dari keluarga itu telah ia bekukan. Malam itu, ia mengambil keputusan.
Ia menunggu hingga semua orang telah pulang dan hanya tersisa mereka berdua di markas yang luas dan sunyi itu. Nova sedang membereskan beberapa laporan di mejanya, bersiap untuk pergi.
"Nov," panggil Angkasa pelan.
Nova menoleh, ekspresinya langsung berubah datar. "Ya? Ada masalah di lapangan?"
"Bukan," kata Angkasa. "Gue ... kita perlu bicara."
Nova menghela napas, seolah lelah. "Kalau soal strategi besok, biar Tio yang ..."
"Bukan soal strategi," potong Angkasa. "Ini soal kita."
Nova terdiam. Ia akhirnya meletakkan laporannya dan menatap Angkasa, menunggu.
Angkasa tidak tahu harus memulai dari mana. Ia memilih tempat yang paling netral, atap gedung markas mereka. Mereka berdiri di sana, di bawah langit Jakarta yang mulai dihiasi bintang, ditemani oleh desau angin dan deru lalu lintas yang terdengar jauh di bawah.