Jembatan yang retak di antara Angkasa dan Nova kini telah tersambung kembali, diperkuat oleh pengakuan dan pemahaman. Markas Lima Serigala tidak lagi terasa dingin; kehangatan dari persaudaraan mereka yang teruji oleh api perlahan mulai mengisi setiap sudut ruangan. Candaan Dika kembali terdengar, analisis Tio kini disampaikan dengan lebih santai, dan Nova, meskipun masih membawa bekas luka di hatinya, kini bisa menatap Angkasa dengan tatapan seorang kawan, bukan lagi orang asing. Mereka kembali menjadi sebuah kawanan.
Namun, di tengah kelegaan itu, Angkasa tahu masih ada satu benang kusut yang belum ia urai. Sebuah janji yang menggantung, sebuah harapan yang tanpa sadar telah ia berikan, dan sebuah pertanyaan yang terus ditanyakan oleh tatapan mata Bang Jago setiap kali mereka bertemu. Bunga.
Angkasa merasa seperti seorang pengecut. Ia telah membiarkan situasi ini berlarut-larut, berlindung di balik kekacauan perang melawan Sindikat. Ia membiarkan Bunga terus membantunya, menjadi pilar kekuatan bagi Lima Serigala, sementara ia sendiri tidak pernah memberikan kejelasan tentang usulan aliansi "darah" yang pernah dilontarkan oleh Bang Jago. Ia tahu ini tidak adil. Bunga pantas mendapatkan sebuah jawaban yang jujur, sepahit apa pun jawaban itu nantinya.
Setelah berhari-hari mengumpulkan keberanian, ia akhirnya melakukannya. Ia tidak mengajak Bunga bicara di sela-sela rapat atau di koridor kantor yang sibuk. Itu akan terasa tidak sopan dan terlalu impersonal. Ia mengirimkan pesan singkat, mengajaknya bertemu di luar.
Bunga, bisa kita ketemu sore ini? Ada yang mau gue omongin. Gue tunggu di taman danau, tempat biasa.
Tempat itu adalah sebuah taman kota kecil dengan danau buatan yang tenang, tempat yang beberapa kali pernah mereka datangi untuk berdiskusi santai. Sebuah tempat yang netral dan damai, kontras dengan apa yang akan Angkasa sampaikan.
Ia tiba lebih dulu, duduk di sebuah bangku yang menghadap ke air danau yang beriak pelan. Saat Bunga datang, dengan gaun musim panas sederhana yang membuatnya tampak begitu anggun, Angkasa merasakan gelombang rasa bersalah yang luar biasa. Bagaimana bisa ia menyakiti seseorang yang telah memberikan begitu banyak kebaikan padanya?
“Hai, Kak,” sapa Bunga sambil tersenyum, duduk di sampingnya. “Tumben ngajak ketemu di sini. Ada masalah penting?”
Angkasa menatap danau di hadapannya, tidak sanggup menatap mata Bunga. “Gue … gue ngajak lo ke sini karena gue mau ngomong sesuatu yang penting, Bunga. Tapi sebelumnya, gue mau bilang terima kasih.”
Ia akhirnya menoleh, menatap Bunga dengan sorot mata yang tulus. “Dari hati yang paling dalam. Gue dan Lima Serigala enggak akan bisa selamat dari badai kemarin tanpa lo. Lo yang ngasih kita senjata saat kita cuma punya tangan kosong. Lo yang ngasih kita peta saat kita tersesat di hutan. Kepintaran lo, keberanian lo, jaringan lo … semua itu udah nyelamatin kami semua. Kami semua utang nyawa sama lo.”
Bunga tersenyum, pipinya sedikit merona mendengar pujian itu. “Aku cuma melakukan apa yang seharusnya, Kak. Kita kan sekutu.”