Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #28

Pintu Rumah yang Terbuka

Beberapa minggu berlalu sejak kemenangan Lima Serigala. Puing-puing markas mereka yang terbakar telah dibersihkan, digantikan oleh fondasi baru yang sedang dibangun. Kerajaan mereka yang hancur kini sedang direkonstruksi, bata demi bata, dengan semangat yang baru dan lebih dewasa. Angkasa telah berhasil menyatukan kembali kawanannya, memperbaiki jembatan yang retak dengan Dika dan Nova, dan menyelesaikan urusan hatinya dengan Bunga. Satu per satu, ia telah membereskan kekacauan di dunianya.

Namun, masih ada satu hantu yang belum ia hadapi. Satu percakapan yang tertunda. Satu luka yang ia sebabkan dengan tangannya sendiri, yang terus bernanah di dalam hati nuraninya. Aisha.

Setiap malam, ia teringat pada suara wanita itu di telepon, suara yang hancur oleh kata-katanya yang kejam. Ia tahu, permintaan maaf tidak akan cukup. Tapi ia juga tahu, tanpa mencoba, ia tidak akan pernah bisa benar-benar berdamai dengan dirinya sendiri. Ini bukan lagi tentang perasaan romantis yang membingungkan atau strategi perang. Ini adalah soal penebusan.

Setelah berhari-hari berperang dengan keraguannya sendiri, ia akhirnya memberanikan diri. Jarinya melayang di atas layar ponsel selama beberapa menit sebelum akhirnya ia mengetikkan sebuah pesan.

Assalamualaikum, Bu Aisha. Ini Elang Angkasa. Saya tahu saya enggak punya hak untuk meminta ini, dan saya akan mengerti sepenuhnya jika Ibu menolak. Tapi ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya jelaskan pada Ibu secara langsung, tentang semua yang terjadi. Kalau Ibu bersedia memberikan saya sedikit waktu, saya akan sangat berterima kasih.

Ia menekan tombol kirim dengan jantung berdebar. Ia menunggu. Lima menit, sepuluh, tiga puluh. Ia sudah hampir menyerah, berpikir bahwa pesannya akan diabaikan begitu saja, sebuah hukuman yang pantas ia terima. Lalu, ponselnya bergetar.

Waalaikumsalam, Elang. Datanglah ke rumah Ibu besok sore setelah jam sekolah.

Jawaban yang singkat, formal, namun tidak menutup pintu itu sudah lebih dari cukup.

Keesokan harinya, Angkasa berdiri di depan pintu apartemen Aisha. Jantungnya berdebar lebih kencang daripada saat ia menghadapi puluhan musuh. Ia mengenakan kemeja bersih, bukan jaket jinsnya yang biasa, sebuah upaya kecil untuk menunjukkan rasa hormat. Ia bukan lagi seorang murid yang datang menghadap wali kelasnya. Ia adalah seorang lelaki yang datang untuk mengakui kesalahannya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu.

Pintu itu terbuka. Aisha berdiri di hadapannya. Ia tampak baik-baik saja, namun sorot matanya berbeda. Kehangatan yang dulu selalu ada di sana kini digantikan oleh sebuah ketenangan yang berjarak, sebuah kewaspadaan yang dijaga dengan baik. Ia mempersilakan Angkasa masuk dengan anggukan sopan.

Rumah itu masih sama, rapi, bersih, dan menenangkan. Namun kali ini, Angkasa bisa merasakan ketegangan yang tipis di udara. Aisha menyuguhkan teh hangat, lalu duduk di sofa tunggal, menjaga jarak yang aman di antara mereka.

“Ada apa, Lang?” tanyanya, suaranya tenang.

Lihat selengkapnya