Beberapa minggu telah berlalu sejak kejatuhan Hartono Wijoyo. Jakarta tidak lagi menahan napas; ia telah menghirup udara baru. Nama Lingkar Emas kini hanya menjadi bisik-bisik di masa lalu, sebuah legenda kelam tentang kerajaan korup yang runtuh dalam semalam. Dan di atas abu dari kerajaan itu, sebuah nama baru bersinar dengan cara yang berbeda: Yayasan Serigala Perkasa.
Markas mereka yang baru, sebuah gudang logistik luas di Jakarta Timur yang disumbangkan oleh Bang Jago kini telah bertransformasi. Dinding-dindingnya yang dulu kotor kini dicat putih bersih, dan di dalamnya, alih-alih kekacauan, kini ada keteraturan. Tio, dari kantornya yang kini lebih mirip pusat komando NASA daripada ruang server, memimpin pembangunan kembali dengan presisi seorang arsitek. Sistem digital mereka dibangun ulang, lebih kuat, lebih aman, dan kini sepenuhnya legal. Di lapangan, Dika telah berhasil mengonsolidasi kembali ratusan juru parkir yang tercerai-berai, memberikan mereka seragam baru, pelatihan, dan yang terpenting, sebuah kepastian. Di bawah kepemimpinannya yang tegas namun adil, mereka bukan lagi sekumpulan preman, melainkan sebuah satuan keamanan yang dihormati. Dan Nova, ia adalah jantung dari semua itu, memastikan setiap roda gigi dalam mesin raksasa ini berputar dengan sempurna, dari arus kas hingga kesejahteraan para anggota.
Ada aura kemenangan di udara, namun bukan kemenangan yang riuh. Ini adalah kemenangan yang sunyi, yang dibayar dengan harga yang sangat mahal. Setiap anggota Lima Serigala yang tersisa membawa bekas luka mereka sendiri—luka fisik, luka batin, dan luka pengkhianatan yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya sembuh. Mereka telah menang, dan kini mereka sedang belajar untuk hidup dengan gema dari kemenangan itu.
Di tengah kesibukan membangun kembali, Angkasa tahu ada beberapa buku yang harus ia tutup, beberapa percakapan terakhir yang harus ia lakukan untuk benar-benar bisa melangkah maju. Yang pertama dan yang paling rumit adalah Bunga.
Ia menemuinya di hari terakhir gadis itu bekerja di yayasan. Bunga telah memutuskan untuk mengundurkan diri dengan alasan ingin membantu bisnis ayahnya yang lain, sebuah alasan yang sama-sama mereka tahu adalah cara yang elegan untuk menciptakan jarak. Angkasa menghampiri mejanya yang sudah bersih, di mana hanya tersisa sebuah kotak kecil berisi barang-barang pribadinya.
“Jadi … beneran hari terakhir?” tanya Angkasa, suaranya terasa canggung.
Bunga mengangkat wajah dari kotaknya dan tersenyum, senyum yang tulus namun menyimpan sedikit kesedihan. “Iya, Kak. Aku sudah serahkan semua laporan dan data ke Tio. Semuanya sudah beres.”
“Gue cuma mau bilang sekali lagi, Bunga,” kata Angkasa, menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Terima kasih buat semuanya. Buat bantuan lo, kepintaran lo … dan terutama, buat pengertian lo. Tanpa lo, kita semua mungkin udah habis.”
Bunga mengangguk pelan. “Aku juga berterima kasih, Kak. Aku belajar banyak di sini. Jauh lebih banyak daripada di sekolah bisnis mana pun,” katanya, ada sedikit nada jenaka di sana. “Aku belajar kalau ‘analisis risiko’ itu kadang artinya harus siap lari dari kejaran preman.”
Angkasa tertawa kecil, sebuah tawa lega yang memecah ketegangan. “Maaf kalau gue udah nyeret lo ke dalam dunia yang kacau.”