Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #30

Undangan dari Langit

Kedamaian adalah sebuah bahasa asing yang sedang coba Angkasa pelajari. Di dalam rumahnya yang sederhana, jauh dari hiruk pikuk markas, ia mulai menemukan ritme kehidupan yang normal. Pagi hari diisi dengan buku-buku pelajaran yang tebal, di mana ia berjuang untuk memahami dunia melalui kata-kata, bukan lagi melalui tinju. Sore hari adalah suakanya, waktu miliknya dan Aisha, sebuah oase ketenangan yang terasa begitu berharga hingga nyaris tak nyata. Ia mulai percaya bahwa perang telah benar-benar usai, bahwa ia akhirnya bisa meletakkan senjatanya. Namun, ia lupa, bahwa diF dunianya, kedamaian seringkali hanyalah jeda singkat sebelum badai yang lebih besar datang.

Malam itu, ia baru saja kembali dari sesi belajarnya. Aroma teh melati dari tempat tinggal Aisha seolah masih melekat di jaketnya, sebuah parfum kedamaian yang kontras dengan bau asap knalpot yang ia tembus di perjalanan pulang. Ia merebahkan diri di sofanya yang usang, memejamkan mata, merasakan kelelahan yang menyenangkan dari belajar, bukan dari pertempuran. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti orang normal.

Saat itulah bel apartemennya berbunyi. Bunyi itu terasa begitu mengganggu, sebuah intrusi dari dunia luar ke dalam gelembung kecil kedamaiannya. Ia tidak sedang menunggu siapa pun.

Dengan perasaan tidak enak, Angkasa bangkit dan berjalan menuju pintu, mengintip dari lubang intai. Di luar, berdiri dua lelaki berbadan tegap mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Mereka bukan orang yang ia kenal, namun aura mereka begitu familier: aura disiplin dan bahaya yang tersembunyi di balik penampilan profesional.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit.

“Bapak Elang Angkasa?” sapa salah satunya, suaranya datar dan tanpa emosi.

“Iya. Ada apa?”

Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah amplop hitam tebal yang disegel dengan lilin berlogo naga. Ini bukan surat. Ini adalah sebuah panggilan. “Atasan kami mengundang Bapak untuk makan malam. Sekarang.”

Itu bukan permintaan. Itu adalah sebuah perintah. Angkasa tahu ia tidak bisa menolak. “Kasih gue waktu lima menit,” katanya pada kedua lelaki itu sebelum menutup pintu. Jantungnya yang tadinya tenang kini mulai berdebar dengan ritme lama yang ia benci: ritme kewaspadaan.

Perjalanan itu adalah sebuah pendakian menuju langit. Mobil mewah yang menjemputnya melaju menembus malam Jakarta, membawanya semakin tinggi, semakin jauh dari jalanan yang ia kenal. Mereka berhenti di lobi sebuah hotel paling prestisius di puncak gedung tertinggi di Jakarta. Dari sini, seluruh kota tampak seperti hamparan permata yang berkelip di bawah kakinya.

Ia diantar menuju sebuah restoran rooftop privat, sebuah anjungan yang seolah melayang di antara awan. Di sana, di sebuah meja yang hanya diterangi oleh cahaya lilin dan gemerlap kota, Bang Jago sudah menunggunya, membelakanginya, menatap pemandangan dengan segelas minuman di tangan. Ia tampak seperti seorang kaisar yang sedang mengamati kerajaannya dari atas langit.

“Duduk, Ang,” kata Bang Jago tanpa menoleh.

Angkasa duduk. Keheningan di antara mereka terasa lebih berat daripada tekanan udara di ketinggian itu. Angin malam yang dingin berdesir, memainkan taplak meja linen yang mahal.

Lihat selengkapnya