Markas Yayasan Serigala Perkasa terasa seperti sebuah gunung berapi yang tertidur. Di permukaannya, aktivitas berjalan seperti biasa, namun di bawahnya, magma perdebatan dari malam sebelumnya masih terasa panas dan siap meletus kapan saja. Dika menjadi lebih pendiam, amarahnya yang tak tersalurkan ia lampiaskan dengan melatih tim keamanannya lebih keras dari biasanya, membuat para anggota baru gemetar ketakutan. Tio dan Nova, di sisi lain, bekerja dalam keheningan yang tegang, menyusun laporan-laporan risiko dan proyeksi keuangan yang seolah berteriak "berbahaya!" di setiap halamannya.
Angkasa berada di pusat dari semua itu, terombang-ambing. Setiap kali ia melihat semangat liar di mata Dika, ia teringat pada Elang Angkasa yang dulu, yang tidak pernah mundur dari pertarungan. Namun setiap kali ia mendengar argumen logis dari Tio dan Nova, ia teringat pada harga yang harus mereka bayar: pada nisan Agus yang masih baru, pada tongkat yang kini menjadi teman setia Tio.
Tekanan itu tidak hanya datang dari dalam. Ponselnya berdering pada siang hari. Bang Jago.
“Gimana, Ang? Sudah ada keputusan?” tanya suara berat itu, terdengar santai namun Angkasa bisa merasakan ketidaksabaran di baliknya.
“Teman-teman gue masih ragu, Bang. Risikonya terlalu besar.”
Bang Jago tertawa pelan, tawa yang seolah meremehkan ketakutan mereka. “Tentu saja risikonya besar. Hadiahnya juga besar. Begini saja,” katanya, nadanya kini seperti seorang ayah yang sedang memberi nasihat pada anaknya yang bimbang. “Jangan langsung telan semua kuenya. Cicipi dulu sedikit. Coba tes airnya dulu. Ambil satu titik kecil di perbatasan, di Tanah Abang. Lihat apa yang terjadi. Anggap aja pemanasan. Buktikan pada teman-teman lo kalau ketakutan mereka itu berlebihan.”
Saran itu terdengar begitu logis, begitu masuk akal. Sebuah kompromi yang sempurna. Angkasa, yang merasa terjebak, melihat ini sebagai jalan keluar. Ia akan membuktikan pada Tio dan Nova bahwa risikonya terkendali, sekaligus memuaskan dahaga Dika akan aksi.
Keesokan harinya, ia menyampaikan rencana “uji coba” itu. Dika langsung setuju, sementara Tio dan Nova, meskipun masih ragu, tidak bisa menolak sebuah misi observasi kecil.
Angkasa dan Dika berangkat ke Tanah Abang. Mereka tidak datang dengan deru puluhan motor, melainkan hanya dengan satu motor sport yang sengaja mereka parkir beberapa blok jauhnya. Mereka berjalan kaki, mencoba membaur dengan lautan manusia yang sibuk. Ini adalah langkah pertama mereka ke kandang singa, dan Angkasa bisa merasakan adrenalin yang berbeda, bukan adrenalin panas menjelang pertempuran, melainkan ketegangan dingin dari ketidaktahuan.
Mereka baru saja akan mendekati koordinator parkir setempat, seorang lelaki kurus yang sedang sibuk meniup peluit, ketika jalan mereka dihadang. Bukan oleh preman bertato dengan tatapan lapar. Yang menghadang mereka adalah dua lelaki berpenampilan necis dengan kemeja batik sutra mahal dan sepatu kulit yang mengilap, seolah tak tersentuh oleh debu dan kekacauan Tanah Abang. Mereka berdiri diam, postur mereka tenang namun memancarkan aura superioritas yang tak terbantahkan.
Salah satunya, yang lebih tua dengan sedikit uban di pelipisnya, tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya yang dingin. "Selamat sore. Bapak Elang Angkasa, saya asumsikan?" sapanya, suaranya halus dan terpelajar.
Angkasa berhenti, Dika di sisinya langsung memasang kuda-kuda, otot-ototnya menegang. "Siapa kalian?" tanya Angkasa, nadanya waspada.
"Perkenalkan," kata lelaki itu sambil mengulurkan tangan, sebuah gestur yang Angkasa balas dengan ragu. "Saya Hardiman, dan ini rekan saya, Binsar. Kami dari firma hukum Jayakusuma & Partners."
Dika mendengus. "Firma hukum? Salah alamat, Pak. Kantor polisi di seberang."
Hardiman melirik Dika sekilas, tatapannya merendahkan, seolah sedang melihat serangga yang mengganggu, sebelum kembali fokus pada Angkasa. "Kami di sini mewakili klien kami, PT Lintasarta Niaga, yang berdasarkan Surat Keputusan Walikota nomor 34B/2019, memegang hak pengelolaan eksklusif atas seluruh area parkir non-resmi di kawasan ini, termasuk lahan tempat kita berdiri saat ini."
Setiap kata diucapkan dengan presisi seorang ahli bedah. Angkasa mencoba mencerna informasi itu. Hak pengelolaan? Surat Keputusan Walikota? Ini adalah bahasa asing baginya.