Satu minggu setelah Angkasa secara resmi menyerahkan tahtanya, ia menemukan dirinya berada di medan perang yang sama sekali baru. Tidak ada lagi deru knalpot atau teriakan komando. Tidak ada lagi peta wilayah atau laporan intelijen. Medan perangnya kini adalah sebuah meja kayu yang hangat di ruang tamu apartemen Aisha. Senjatanya adalah sebuah pulpen, dan musuh terbesarnya adalah buku paket Sejarah kelas dua belas yang tergeletak terbuka di hadapannya.
Pemandangan itu terasa mencengangkan. Ia, Elang Angkasa, yang namanya pernah membuat para preman paling sangar sekalipun bergidik, kini mengerutkan keningnya dalam-dalam, mencoba menghafal kronologi Perang Diponegoro. Ia merasa canggung, bodoh, dan sepenuhnya keluar dari elemennya. Lelaki yang terbiasa memimpin ratusan orang kini merasa seperti seorang anak kecil yang tersesat di perpustakaan. Namun, di tengah semua perasaan itu, ada satu hal yang dominan: sebuah kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Aisha mengamatinya dari seberang meja, senyum geli yang lembut tersungging di bibirnya. Ia melihat perjuangan di wajah Angkasa, sebuah perjuangan yang berbeda namun sama beratnya dengan yang pernah ia hadapi di jalanan. Ia melihat seorang petarung yang sedang belajar untuk meletakkan senjatanya.
“Pangeran Diponegoro itu seorang ahli strategi gerilya, Lang,” katanya, suaranya yang lembut memecah konsentrasi Angkasa. “Dia menggunakan pemahaman mendalamnya tentang medan dan rakyatnya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar. Mirip seperti seseorang yang Ibu kenal.”
Angkasa mengangkat wajahnya, menatap Aisha. Godaan halus itu membuat pipinya terasa sedikit hangat. Ia mencoba kembali fokus pada buku, namun pikirannya terus melayang. Ia tidak lagi peduli pada Pangeran Diponegoro atau siasat perangnya. Pikirannya tersesat pada cara cahaya lampu sore menerpa wajah Aisha, pada sorot matanya yang teduh, pada kesabarannya yang tak terbatas. Di sini, di dalam ruangan yang beraroma teh melati dan kertas buku ini, Angkasa merasa dunianya yang penuh kekerasan seolah lenyap, digantikan oleh sebuah realitas baru yang tenang dan penuh harapan.
“Elang?” panggil Aisha lagi, menyadari muridnya itu telah melamun. “Kamu dengar Ibu?”
Angkasa menutup bukunya dengan pelan. “Maaf, Bu. Pikiran saya … bukan di sini.”
Aisha menatapnya dengan sabar, tidak marah, hanya menunggu. “Lalu di mana?”
Angkasa menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Ini adalah sebuah pertaruhan yang lebih besar dari duel mana pun. “Di sini,” katanya pelan, matanya menatap lurus ke dalam mata Aisha, tidak lagi menghindar. “Di ruangan ini. Sama Ibu.”
Keheningan yang tiba-tiba terasa begitu pekat, sarat dengan semua kata yang tak terucap di antara mereka selama ini. Aisha adalah orang pertama yang memalingkan muka, hatinya berdebar tak menentu. Ia mencoba meraih kembali topeng gurunya, namun gagal.
“Saya enggak tahu ini apa namanya, Bu,” lanjut Angkasa, suaranya serak dan tulus. “Saya enggak punya kata-kata pintar seperti yang ada di buku-buku ini. Tapi setiap kali saya di sini, belajar hal-hal yang dulu saya buang … rasanya benar. Rasanya seperti ini tempat seharusnya saya berada.”