Pagi setelah malam pengakuan itu, Angkasa terbangun dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Bukan perasaan kemenangan setelah pertarungan, bukan juga kelegaan setelah bahaya berlalu. Ini adalah sebuah perasaan yang ringan, hangat, dan penuh dengan harapan yang rapuh. Untuk pertama kalinya, saat ia menatap langit Jakarta dari jendela apartemennya, ia tidak melihatnya sebagai sebuah wilayah untuk ditaklukkan, melainkan sebagai sebuah latar panggung di mana sebuah cerita baru yang indah mungkin bisa dimulai.
Ia meraih ponselnya, dan dengan senyum tipis yang terasa canggung di wajahnya sendiri, ia mengetik sebuah pesan singkat.
Selamat pagi, Bu Aisha.
Hanya itu. Namun, baginya, mengetik kalimat sederhana itu terasa lebih menegangkan daripada memberi komando serangan. Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar.
Pagi juga, Elang. Jangan lupa sarapan sebelum belajar.
Angkasa tertawa kecil. Sebuah tawa yang tulus dan tanpa beban. Di tengah dunianya yang rumit, interaksi normal ini terasa seperti sebuah kemewahan yang luar biasa. Ia merasa seperti seorang remaja biasa untuk pertama kalinya.
Namun, perasaan itu seketika menguap begitu ia melangkahkan kaki masuk ke markas CV Serigala Perkasa. Atmosfer di dalam kantor itu adalah sebuah pengingat brutal akan realitasnya. Bau kopi yang pekat, dering telepon yang tak henti-hentinya, dan wajah-wajah tegang dari para stafnya langsung menariknya kembali dari langit ke bumi. Ia bukan lagi hanya Elang. Di sini, ia adalah Angkasa, sang pemimpin.
“Ang, kita ada masalah,” sapa Dika begitu ia masuk ke ruang rapat. Di layar monitor besar, terpampang beberapa foto dari sebuah area parkir yang babak belur. “Ada kelompok baru coba masuk ke wilayah kita di Kebayoran. Mereka enggak banyak, cuma belasan orang. Tapi caranya main kasar. Juru parkir kita dua orang luka ringan.”
Angkasa menatap foto-foto itu, rahangnya langsung mengeras. Kedamaian yang baru saja ia rasakan pecah berkeping-keping. “Siapa mereka?”
“Belum jelas,” sahut Tio dari mejanya. “Bukan sisa-sisa Sindikat. Sepertinya pemain baru yang mencoba peruntungan setelah Lingkar Emas jatuh.”
“Kita harus kasih mereka pelajaran,” geram Dika. “Biar mereka tahu siapa penguasa di Selatan.”
Angkasa terdiam sejenak. Angkasa yang dulu akan langsung menyetujuinya. Ia akan memerintahkan Dika untuk mengerahkan pasukan dan menghabisi kelompok baru itu dalam semalam. Namun, bayangan wajah Aisha dan percakapan mereka semalam melintas di benaknya. “Jangan sampai kehilangan diri Abang sendiri.”