Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #34

Amplop Cokelat Kedua

Kebahagiaan adalah candu yang berbahaya. Selama seminggu berikutnya, Angkasa hidup di dalam gelembung euforia yang ia ciptakan bersama Aisha. Sesi "les privat" mereka kini menjadi momen yang paling ia nantikan, sebuah ritual suci di mana ia bisa melepaskan semua bebannya. Mereka tidak lagi hanya membahas sejarah; mereka membahas masa depan. Mimpi-mimpi kecil mulai mereka rajut bersama: sebuah rencana untuk berlibur ke pantai saat Angkasa lulus ujian, sebuah candaan tentang mengadopsi seekor kucing, sebuah harapan yang rapuh namun terasa begitu nyata.

Untuk menjaga keamanan, mereka menjadi sangat berhati-hati. Tidak ada lagi pertemuan nekat di dekat sekolah. Angkasa akan datang ke rumah Aisha dengan menyamar, menggunakan ojek online atau mobil sewaan yang berbeda-beda, memastikan tidak ada pola yang bisa dilacak. Di mata dunia, mereka tidak ada. Namun di dalam tempat tinggal yang sunyi itu, dunia mereka begitu hidup.

Perubahan dalam diri Angkasa semakin kentara di markas. Ia menjadi lebih sabar, lebih pemaaf. Saat Dika melaporkan bahwa negosiasi dengan kelompok preman baru di Kebayoran gagal dan berakhir dengan adu jotos kecil, Angkasa tidak marah. Ia hanya menghela napas. "Cari cara lain, Dik. Jangan sampai ada korban serius. Tawarkan mereka persentase keuntungan yang lebih besar," katanya. Keputusannya yang lunak itu membuat Dika semakin bingung dan frustrasi. Wibawa Angkasa sebagai pemimpin yang tegas dan ditakuti perlahan terkikis, digantikan oleh citra seorang lelaki yang sedang jatuh cinta.

Nova adalah orang yang paling merasakan perubahan itu. Ia melihat Angkasa yang kini lebih sering tersenyum menatap ponselnya, yang tatapannya seringkali kosong melamun di tengah-tengah rapat penting. Dan setiap kali ia melihatnya, hatinya terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum kecil. Bukan lagi cemburu yang membara, melainkan sebuah kesedihan yang mendalam. Ia merasa kehilangan sahabatnya, digantikan oleh seorang lelaki asing yang tidak lagi ia kenali. Ia menjaga jarak, bukan karena benci, tapi karena itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi hatinya sendiri.

Di sisi lain, Bunga, dengan kecerdasannya, mulai curiga. Ia melihat perubahan Angkasa, melihat jarak antara Angkasa dan Nova, dan ia tahu ini bukan sekadar tekanan bisnis. Namun, sebagai seorang profesional, ia tidak ikut campur. Ia hanya fokus pada pekerjaannya, sambil diam-diam mengamati dinamika yang aneh di dalam kawanan serigala itu.

Badai itu datang pada hari Jumat sore, tepat satu minggu setelah pertemuan singkat Angkasa dan Aisha di dalam mobil.

Sama seperti sebelumnya, seorang kurir profesional datang ke markas, membawa sebuah amplop cokelat berukuran A4 yang kaku. Kali ini, paket itu tidak hanya ditujukan untuk Angkasa. Di atasnya, tercetak tiga nama dengan rapi: Tio, Dika, dan Nova.

Angkasa sedang tidak berada di markas saat paket itu tiba. Ia sedang berada di apartemen Aisha untuk sesi belajarnya. Tio yang menerima paket itu. Merasa aneh karena nama Angkasa tidak ada di sana, ia memanggil Dika dan Nova ke ruang rapat.

"Paket aneh lagi," kata Tio, meletakkan amplop itu di tengah meja. "Tapi kali ini buat kita bertiga."

Dika menatap amplop itu dengan curiga. "Jebakan? Bom?"

Lihat selengkapnya