Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #35

Ruang Sidang yang Sunyi

Pintu ruang rapat tertutup, namun keheningan di dalamnya terasa lebih bising daripada teriakan mana pun. Tio, Dika, dan Nova. Tiga pilar yang menopang kerajaan Serigala Perkasa kini berdiri di atas fondasi yang retak, menatap tumpukan foto di atas meja yang terasa seperti surat dakwaan. Mereka tidak lagi saling pandang. Masing-masing tenggelam dalam badai pemikiran mereka sendiri, badai yang dipicu oleh pengkhianatan yang tak terduga dari pemimpin mereka.

Dika adalah yang pertama bergerak. Ia meraih foto-foto itu, meremasnya dengan kasar di dalam kepalan tangannya hingga menjadi gumpalan kertas yang tak berbentuk, lalu membantingnya ke dinding.

“Gue enggak percaya ini,” geramnya, suaranya rendah dan penuh amarah yang tertahan. Ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, setiap langkahnya terasa seperti getaran gempa kecil. “Jadi ini alasannya? Ini alasan kenapa kita harus ‘main cantik’? Kenapa kita harus ngajak ngobrol preman yang udah nginjek kepala kita? Karena dia lagi sibuk main-main sama gurunya?”

Setiap kata adalah sebuah tuduhan yang pahit. Kekecewaannya begitu besar karena ia merasa Angkasa tidak hanya telah berbohong, tetapi juga telah mengkhianati esensi dari perjuangan mereka. Ia telah menukar taring serigala dengan senyuman seorang kekasih.

“Ini bukan cuma soal itu, Dik,” sahut Tio, suaranya tenang namun dingin. Ia telah bangkit dari keterkejutannya, otaknya kini bekerja dalam mode analisis krisis. Ia menunjuk pesan singkat yang tergeletak di samping sisa-sisa foto. “Lihat pesannya. ‘Pikirkan baik-baik di pihak siapa kalian seharusnya berada.’ Ini bukan sekadar gosip murahan. Ini adalah sebuah operasi psikologis.”

Ia mulai memaparkan analisisnya, seolah sedang membedah strategi musuh. “Mereka sengaja mengirim ini ke kita, bukan ke Angkasa. Mereka tahu Angkasa enggak akan pernah tunduk pada ancaman. Jadi, mereka menyerang kita dari samping. Mereka ingin kita yang meragukan pemimpin kita sendiri. Mereka ingin kita yang menghancurkan kawanan kita dari dalam.”

“Dan sepertinya berhasil,” desis Dika getir.

Nova, yang sejak tadi hanya berdiri diam di sudut ruangan seperti patung es, akhirnya bergerak. Ia berjalan ke arah jendela, membelakangi mereka, menatap ke arah jalanan Tebet yang ramai. Bahunya yang biasanya tegap kini tampak sedikit merosot.

“Dia bohongin kita semua,” bisik Nova, suaranya nyaris tak terdengar, ditujukan lebih pada dirinya sendiri.

Bagi Nova, ini adalah pengkhianatan di level yang paling personal. Bukan soal strategi, bukan soal bisnis. Ini soal hati. Rasa sakit karena cintanya yang tak terbalas kini bercampur dengan rasa sakit karena dibohongi oleh orang yang paling ia percaya. Angkasa tidak hanya menyembunyikan sebuah hubungan; ia menyembunyikan sebuah kelemahan, sebuah rahasia yang telah ia pilih untuk ia bagi dengan orang lain, bukan dengan keluarganya sendiri. Dinding di antara mereka kini terasa absolut dan tak bisa ditembus.

Saat itulah mereka mendengar suara motor Angkasa yang khas memasuki halaman parkir. Ketiganya langsung menegang. Waktu seolah berhenti. Mereka saling pandang, sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka. Pertunjukan harus berakhir. Saatnya untuk sebuah konfrontasi.

Angkasa melangkah masuk ke markas dengan perasaan ringan. Sesi belajarnya dengan Aisha sore itu terasa begitu indah. Mereka tertawa, mereka berdebat kecil tentang sejarah, dan untuk sesaat, ia benar-benar merasa seperti lelaki normal yang sedang jatuh cinta. Ia membawa perasaan hangat itu bersamanya, berharap bisa menularkannya pada atmosfer markas yang terasa tegang akhir-akhir ini.

Lihat selengkapnya