Keheningan di markas CV Serigala Perkasa terasa seperti keheningan di dalam sebuah makam. Pertengkaran hebat antara Angkasa dan Dika, disusul oleh kepergian Nova, telah meninggalkan luka yang menganga. Kawanan itu kini berjalan pincang, tiga serigala yang terluka, masing-masing terisolasi dalam kekecewaan dan rasa bersalahnya sendiri. Tio mengubur dirinya di balik barisan kode, mencoba membangun pertahanan digital yang ia tahu tidak akan ada gunanya jika benteng manusianya telah runtuh. Dika melampiaskan frustrasinya di jalanan, patrolinya kini lebih terasa seperti perburuan tanpa tujuan daripada sebuah operasi keamanan. Dan Angkasa, ia duduk di singgasananya yang kosong, dikelilingi oleh kesunyian, dihantui oleh wajah-wajah sahabatnya yang menatapnya dengan tatapan menghakimi.
Mereka begitu sibuk dengan perang di dalam diri mereka sendiri, hingga mereka tidak menyadari bahwa musuh telah menyelinap masuk melewati dinding pertahanan mereka yang hancur. Budi tidak lagi menyerang dari luar. Ia tahu kekuatan terbesar Lima Serigala bukanlah Angkasa atau Dika, melainkan para koordinator lapangan, para letnan setia seperti Ujang yang menjadi tulang punggung dari operasi mereka. Dan kini, ia datang untuk mematahkan tulang punggung itu, satu per satu.
Ujang, koordinator wilayah Pasar Minggu, sedang bersantai di pos kecilnya saat sebuah mobil sedan mewah berhenti di dekatnya. Jantungnya berdebar sesaat, mengira itu adalah salah satu petinggi Sindikat yang datang untuk membuat onar. Namun, lelaki yang keluar dari mobil itu adalah wajah yang sangat ia kenal.
“Bud?” panggil Ujang, antara kaget dan senang. “Lo ke mana aja, Bangsat? Anak-anak nyariin lo!”
Budi tersenyum, senyum yang sama hangatnya seperti dulu. Ia mengenakan kemeja kasual, bukan setelan jasnya yang mengintimidasi. Ia menepuk pundak Ujang dengan akrab. “Gue baik-baik aja, Jang. Cuma lagi ada urusan. Gimana kabar lo? Parkiran aman?”
Mereka mengobrol sebentar, bernostalgia tentang masa-masa awal perjuangan mereka. Budi dengan lihai membangkitkan kembali kenangan tentang solidaritas mereka, tentang mimpi mereka untuk hidup lebih baik. Ia membuat Ujang merasa nyaman, membuatnya lupa sejenak bahwa lelaki di hadapannya adalah seorang pengkhianat.
“Jujur, gue kasian sama lo semua,” kata Budi akhirnya, nadanya berubah serius dan penuh simpati. “Kalian kerja keras di lapangan, panas-panasan, ngambil risiko. Tapi yang kaya raya, yang nikmatin hidup enak, cuma yang di atas.”
Ujang mengerutkan kening. “Maksud lo?”
“Gue tahu sistem bagi hasil kalian,” kata Budi. “Kecil, kan? Cukup buat makan, tapi enggak akan pernah bisa bikin lo beli rumah atau nyekolahin anak sampai sarjana.” Ia mencondongkan tubuhnya. “Gimana kalau lo kerja buat gue? Buat Lingkar Emas? Setoran harian buat lo pribadi bisa lima kali lipat lebih besar. Perlindungan dari aparat beneran, bukan cuma dari bocah-bocah yang sekarang lagi sibuk berantem soal cewek.”
Loyalitas Ujang pada Angkasa begitu dalam. Ia langsung menggeleng tegas. “Gue enggak akan pernah khianatin Angkasa, Bud. Dia yang udah ngangkat derajat kita semua.”
Senyum di wajah Budi lenyap seketika, digantikan oleh ekspresi dingin yang membuat Ujang merinding. Tanpa kata, Budi mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah foto, dan menunjukkannya pada Ujang.