Langit di atas pemakaman umum itu berwarna kelabu, warnanya sama seperti wajah-wajah yang berkumpul di sekitar sebuah liang lahat yang masih basah. Hujan gerimis turun tanpa suara, membasahi gundukan tanah merah, seolah alam pun ikut berduka. Tidak banyak yang datang. Hanya Angkasa, Dika, Tio yang mendorong kursi rodanya sendiri dengan susah payah, dan Nova. Di belakang mereka, berdiri beberapa juru parkir paling senior yang raut wajahnya dipenuhi campuran antara duka dan ketakutan. Kematian Agus bukan lagi sekadar kehilangan seorang kawan; itu adalah sebuah pesan berdarah dari Budi dan Sindikat, sebuah lonceng kematian yang berdentang bagi siapa pun yang masih berani menunjukkan loyalitas pada Lima Serigala.
Setelah doa terakhir dipanjatkan dan para pelayat yang sedikit itu membubarkan diri, mereka berempat masih berdiri mematung. Keheningan di antara mereka terasa lebih berat daripada batu nisan mana pun. Mereka telah gagal. Gagal total. Mereka gagal melindungi orang mereka sendiri.
Perjalanan kembali ke markas, sebuah gudang logistik kosong yang kini terasa lebih seperti rumah duka berlangsung dalam kebisuan yang menyiksa. Tidak ada lagi rencana. Tidak ada lagi strategi. Yang tersisa hanyalah kekalahan telak dan rasa bersalah yang menggerogoti.
Di dalam gudang yang remang-remang itu, pertahanan terakhir mereka akhirnya runtuh. Dika, yang sejak pemakaman hanya diam dengan rahang mengeras, tiba-tiba menghantamkan tinjunya ke dinding baja kontainer dengan kekuatan penuh. Suara dentuman logam yang keras menggema, disusul oleh erangan kesakitan yang tertahan.
“INI SEMUA SALAH GUE!” teriaknya, suaranya pecah karena amarah dan duka. Ia menatap tangannya yang berdarah. “Gue harusnya ada di sana buat dia! Gue kepala keamanan! TUGAS GUE ITU MELINDUNGI MEREKA! TAPI GUE GAGAL!”
Ia merosot ke lantai, punggungnya bersandar di dinding kontainer, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang gemetar. Sang monster lapangan, pilar kekuatan fisik mereka, kini hancur berkeping-keping.
Tio hanya bisa menatap sahabatnya itu dari kursi rodanya, wajahnya pucat pasi. Ia merasa lumpuh, baik secara fisik maupun mental. Semua kecerdasan strategisnya, semua kemampuannya meretas sistem, terasa tidak berguna saat menghadapi musuh yang bermain dengan nyawa.
Angkasa berdiri di tengah ruangan, merasakan setiap teriakan Dika seperti sebuah cambukan di punggungnya. Ini bukan salah Dika. Ini salahnya. Ia sang pemimpin. Ia yang terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri. Ia yang membiarkan perpecahan terjadi. Ia yang memimpin mereka ke dalam jurang ini. Beban itu begitu berat hingga ia nyaris tidak bisa bernapas. Ia menatap sisa-sisa kawanannya yang hancur, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa putus asa. Mungkin ini akhirnya. Mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk menang.
Saat itulah, di puncak keputusasaan mereka, sebuah suara lembut memecah keheningan.
“Permisi … Assalamualaikum.”
Mereka semua menoleh serempak ke arah pintu gudang yang sedikit terbuka. Di sana, berdiri seorang wanita, memegang payung yang basah oleh gerimis. Di tangannya yang lain, ia membawa beberapa kotak makanan hangat. Itu adalah Aisha.