Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #38

Pilihan Seorang Putri

Harapan adalah sebuah barang mewah yang langka di markas Lima Serigala. Namun, setelah kedatangan Aisha dan Bunga, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, barang mewah itu kembali terasa melimpah. Keputusasaan yang tadinya menyelimuti mereka seperti kabut tebal kini perlahan sirna, digantikan oleh energi baru yang tegang dan penuh fokus. Di tengah gudang yang dingin itu, sebuah dewan perang yang mustahil telah terbentuk.

Mereka berkumpul mengelilingi sebuah meja. Di atasnya, terbentang denah kasar dari pusat pelatihan di Jonggol yang Bunga tampilkan dari tabletnya. Angkasa, Dika, Nova, dan Tio menatap gambar satelit itu dengan intensitas seorang pemburu yang telah menemukan jejak mangsanya. Di antara mereka, kini ada dua anggota baru yang kehadirannya mengubah seluruh dinamika. Aisha, yang duduk di samping Tio, menelaah setiap data dengan ketajaman seorang akademisi. Dan Bunga, yang berdiri di samping Angkasa, memberikan penjelasan dengan kefasihan seorang analis bisnis.

“Kita tahu lokasinya,” kata Tio akhirnya, memecah keheningan. Suaranya yang tenang menggarisbawahi besarnya masalah yang mereka hadapi. “Tapi hanya itu yang kita tahu. Kita enggak tahu apa yang ada di dalamnya. Berapa banyak orang di sana? Apa persenjataan mereka? Bagaimana sistem keamanannya? Menyerang secara buta sama saja dengan mengirim Dika dan pasukannya ke dalam mesin penggiling daging.”

Dika tidak membantah. Ia tahu Tio benar. Keberanian dan kenekatan tidak akan ada artinya jika mereka berhadapan dengan benteng yang tidak mereka kenali.

“Satu-satunya orang yang mungkin punya informasi sedetail itu adalah ayahmu,” kata Angkasa pelan, menatap Bunga. Ini bukan perintah, melainkan sebuah pernyataan fakta yang berat.

Semua mata kini tertuju pada Bunga. Ia merasakan beban dari tatapan mereka. Ia tahu apa yang mereka minta. Dan ia tahu betapa berbahayanya permintaan itu.

Selama ini, ia membantu Lima Serigala menggunakan jaringannya sendiri, koneksi-koneksi sampingan yang ia bangun. Meminta informasi tentang markas rahasia Sindikat pada ayahnya adalah hal yang sama sekali berbeda. Itu berarti ia meminta Bang Jago untuk secara terbuka menyatakan perang, untuk mempertaruhkan seluruh kerajaannya demi pertempuran Angkasa. Ia tidak yakin ayahnya akan bersedia melakukannya. Bang Jago adalah seorang pebisnis, bukan seorang martir. Ia membantu Angkasa untuk menyingkirkan Hartono, rivalnya. Namun, menyerang sisa-sisa Sindikat yang kini terdesak dan berbahaya mungkin adalah sebuah risiko yang tidak ingin ia ambil.

Di sisi lain, ia tidak sanggup menatap wajah Angkasa yang penuh harapan itu dan berkata tidak. Ia tidak bisa diam saja dan membiarkan Angkasa dan teman-temannya masuk ke dalam sebuah misi bunuh diri. Hatinya terbelah antara loyalitas pada darahnya, pada ayahnya yang telah melindunginya seumur hidup dan loyalitas pada hatinya, pada lelaki yang ia kagumi dan perjuangan yang ia yakini.

“Biar aku coba bicara dengan Ayah,” kata Bunga akhirnya, sebuah keputusan yang terasa begitu berat di lidahnya.

***

Pertemuan itu terjadi sore harinya, di beranda belakang rumah Bang Jago yang mewah. Di tempat yang sama di mana aliansi mereka dulu ditempa, Bunga kini datang dengan sebuah permohonan yang bisa menghancurkan segalanya.

Bang Jago sedang memberi makan ikan koinya, gerakannya tenang dan terukur. “Ada apa, Nak? Tumben sekali kamu minta bertemu seserius ini,” katanya tanpa menoleh.

Lihat selengkapnya