Gudang markas Lima Serigala kini telah bertransformasi. Di tengahnya, bukan lagi meja yang menjadi pusat perhatian, melainkan sebuah papan tulis putih besar yang diletakkan di bawah sorotan lampu neon yang terang. Papan itu masih kosong, bersih, menunggu untuk dilukis dengan strategi perang. Di sekelilingnya, dewan perang yang mustahil itu berkumpul dalam keheningan yang tegang. Udara dipenuhi oleh aroma kopi hitam pekat dan asap rokok Dika yang mengepul perlahan, setiap orang terbenam dalam pikiran mereka sendiri, menatap data intelijen dari Bunga yang kini terpampang di layar laptop Tio.
Informasi itu adalah sebuah kunci emas: denah arsitektur yang detail, jadwal pergantian komandan jaga, lokasi titik-titik buta kamera pengawas, bahkan profil singkat dari kepala keamanan di sana. Namun, kunci emas tidak akan ada gunanya jika tidak ada yang tahu bagaimana cara memutarnya di lubang yang tepat. Mereka tahu di mana musuh berada, tapi mereka masih belum tahu bagaimana cara menghancurkannya tanpa ikut hancur.
Setelah keheningan yang terasa seperti seumur hidup, Nova akhirnya melangkah maju. Ia mengambil spidol merah dari meja, gerakannya mantap dan tanpa ragu. Semua mata tertuju padanya. Ini adalah momennya. Ia bukan lagi sang bendahara yang tersisih, bukan lagi wanita yang terluka karena cemburu. Di hadapan papan tulis itu, ia kembali menjadi dirinya yang sesungguhnya: seorang ahli strategi lapangan yang otaknya ditempa oleh ratusan pertempuran jalanan.
“Serangan frontal itu bunuh diri,” katanya, suaranya tajam dan jernih, memecah keheningan. Ia mulai menggambar denah kasar pusat pelatihan itu di papan tulis, setiap garisnya ditarik dengan keyakinan. “Benteng ini dirancang untuk menahan serangan dari depan. Tapi,” ia menggambar sebuah lingkaran merah di sisi belakang kompleks, “kelemahannya ada di sini.”
Ia menunjuk sebuah titik di denah Bunga yang ditampilkan Tio. “Jalur pembuangan air limbah industri. Menurut denah ini, jalurnya cukup besar untuk dilewati satu orang. Dan yang terpenting, ini adalah satu-satunya area yang tidak terjangkau oleh sensor gerak malam hari karena dekat dengan rawa.”
“Kita akan masuk dari sana,” lanjut Nova, matanya menyala. “Tapi bukan untuk perang total. Itu bodoh. Target kita hanya satu.” Ia menuliskan nama “BUDI” dengan huruf kapital besar di tengah papan. “Kita masuk, ambil dia, dan keluar sebelum mereka sadar apa yang terjadi.”
Rencana itu mulai mengalir dari mulutnya, sebuah simfoni kekerasan yang terencana dengan sempurna. “Operasi ini kita bagi jadi tiga tim. Tim Alpha, Tim Bravo, dan Tim Charlie.”
Ia menatap Dika. “Tim Alpha, lo yang pimpin. Tiga orang terbaik. Kalian adalah ujung tombak. Tugas kalian adalah menyusup masuk melalui jalur pembuangan air, bergerak dalam senyap, dan melumpuhkan pos listrik utama yang ada di sini,” ia menunjuk sebuah kotak di denah. “Menurut data Bunga, pos itu hanya dijaga oleh dua orang di malam hari. Matikan listriknya. Itu akan mematikan seluruh sistem kamera dan gerbang elektronik mereka, memberi kita jendela waktu tiga sampai lima menit sebelum genset darurat mereka menyala.”
Dika mengangguk, matanya fokus, menyerap setiap detail.
Nova kemudian menatap Angkasa. “Tim Bravo, gue dan elo, Ang. Kita berdua saja. Begitu listrik padam dan kekacauan dimulai, kita masuk dari gerbang samping yang sekarang tidak terkunci secara elektronik. Target kita langsung ke paviliun utama, tempat Budi dan para petinggi tinggal. Kita yang akan melakukan ekstraksi.”
“Hanya berdua?” tanya Angkasa, sedikit ragu.
“Hanya berdua,” tegas Nova. “Semakin sedikit orang, semakin cepat kita bergerak, semakin kecil kemungkinan kita terdeteksi.”