Langit di atas Jonggol berwarna hitam pekat tanpa bintang, sebuah kubah kegelapan yang sempurna untuk operasi senyap. Pukul 02:45 dini hari. Udara terasa dingin dan lembap, dipenuhi oleh paduan suara serangga malam dan desau angin yang menyapu ilalang tinggi. Bagi Lima Serigala, keheningan alam ini terasa jauh lebih menegangkan daripada kebisingan jalanan Jakarta yang biasa mereka hadapi. Di sini, setiap ranting yang patah atau daun yang berdesir bisa menjadi pertanda datangnya maut.
Mereka telah berada di posisi masing-masing selama hampir satu jam, tiga tim yang bergerak sebagai satu organisme, terhubung hanya oleh suara Tio yang berderak pelan di earpiece mereka.
Di dalam sebuah mobil sewaan yang terparkir di jalan kecil berjarak satu kilometer dari gerbang utama, "Tim Charlie" tiga anak buah Dika yang berpenampilan paling bersih dan bisa berakting duduk dengan jantung berdebar, menunggu isyarat. Di tangan mereka tergenggam surat perintah inspeksi palsu yang Tio cetak dengan detail yang nyaris sempurna.
Di sisi belakang kompleks, di dekat sebuah selokan pembuangan air yang berbau busuk, Tim Alpha bersiap. Dika, bersama dua petarung terbaiknya, berjongkok dalam kegelapan. Wajahnya yang biasanya impulsif kini terfokus dan dingin seperti baja. Rasa bersalahnya atas kematian Agus telah ia tempa menjadi sebuah senjata: presisi yang mematikan. Malam ini adalah malam penebusannya, dan ia tidak akan gagal.
Dan di titik buta di antara pepohonan rimbun yang menghadap ke gerbang samping paviliun, Tim Bravo menunggu. Angkasa dan Nova berbaring telungkup di atas tanah yang lembap. Keheningan di antara mereka bukan lagi keheningan yang canggung, melainkan keheningan dua predator yang sedang berburu bersama, setiap gerakan mereka selaras, setiap tarikan napas mereka seirama. Mereka kembali menjadi satu tim.
“Semua tim siap?” Suara Tio dari markas terdengar, jernih namun tegang. Di sampingnya, Bunga dan Aisha menatap layar monitor dengan napas tertahan.
Anggukan serempak tak terlihat namun terasa di antara mereka.
“Tim Charlie, jalan,” komando Tio.
Mobil itu melaju perlahan, lampunya menembus kegelapan, menuju gerbang depan pusat pelatihan yang dijaga ketat. Seperti yang diperkirakan, dua penjaga berbadan tegap langsung menghentikan mereka, senapan laras panjang tersandang di bahu.
“Malam, Pak. Kami dari Badan Pertanahan,” kata pemimpin Tim Charlie dengan sopan, menyodorkan surat perintah palsu itu. “Ada laporan penggunaan lahan ilegal. Kami diperintahkan untuk melakukan inspeksi mendadak.”
Para penjaga itu saling pandang, bingung. Prosedur ini tidak ada dalam buku panduan mereka. Salah satunya meraih radio, mencoba menghubungi komandan jaga mereka. Pengalih perhatian telah dimulai.
“Tim Alpha, sekarang!”
Dika tidak membuang waktu. Ia dan timnya meluncur masuk ke dalam gorong-gorong yang gelap dan sempit. Baunya menyesakkan, namun mereka terus merangkak maju dalam kegelapan total, dipandu hanya oleh denah dalam pikiran mereka dan instruksi Tio. Mereka muncul di dalam kompleks, tepat di titik buta yang Bunga tunjukkan.
Mereka bergerak seperti bayangan, menyusuri dinding bangunan, menuju pos gardu listrik utama. Dua penjaga di sana sedang mengobrol santai sambil merokok, sama sekali tidak menyadari kedatangan maut. Sebelum mereka sempat bereaksi, Dika dan timnya telah menyergap. Tidak ada suara tembakan. Hanya suara tubuh yang terbanting dan erangan singkat yang langsung dibungkam. Pertarungan itu selesai dalam sepuluh detik.
Dika menatap panel listrik besar di hadapannya. “Tio, gue udah di depan panel. Kabel yang mana?”
“Kabel merah paling besar di sebelah kiri. Jangan dipotong. Turunkan saja tuas utamanya!”