Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #42

Di Antara Dua Iblis

Perjalanan kembali dari Jonggol menuju markas persembunyian mereka di Jakarta Timur adalah sebuah prosesi pemakaman yang sunyi. Mereka tidak lagi merasakan euforia kemenangan karena telah menangkap Budi. Kemenangan itu terasa hampa, direnggut oleh bisikan terakhir sang pengkhianat yang kini menggema di dalam kepala mereka, jauh lebih berisik daripada sirene polisi mana pun.

Budi, yang kini dibungkam dan duduk di lantai mobil van dengan mata terpejam, bukan lagi sekadar tawanan; ia adalah sebuah bom waktu, sebuah kotak pandora berisi kebenaran mengerikan yang baru saja ia buka.

Angkasa duduk di depan, menatap jalanan tol yang gelap melesat di hadapannya, namun pikirannya tidak di sana. Pikirannya sedang memutar ulang setiap momen yang pernah ia lalui bersama Bang Jago. Duel di pekarangan rumahnya, di mana ia menang dengan menemukan "kelemahan" yang terasa terlalu mudah. Bantuan tanpa pamrih saat Nova ditangkap. Nasihat-nasihat kebapakan yang selalu datang di saat yang tepat. Dan tawaran aliansi melalui Bunga. Apakah itu semua adalah ketulusan seorang mentor? Atau langkah-langkah presisi dari seorang grandmaster catur yang sedang menggerakkan pion-pionnya?

Di belakang, Dika duduk di samping Budi, tatapannya tak pernah lepas dari wajah pengkhianat itu, seolah mencoba menembus tengkoraknya untuk mencari kebohongan. Sementara Nova, ia duduk di sudut paling jauh, memeluk lututnya, matanya menatap kosong ke luar jendela. Ia tidak lagi memikirkan Budi. Ia sedang memikirkan kemungkinan yang lebih buruk: bahwa seluruh perjuangan mereka, dari awal hingga akhir, mungkin hanyalah sebuah lelucon yang dirancang oleh orang lain.

Setibanya di gudang, suasana tegang itu pecah menjadi badai. Mereka langsung terhubung melalui panggilan video dengan Tio, Bunga, dan Aisha yang telah menunggu dengan cemas.

Angkasa tidak basa-basi. Dengan suara berat yang menahan gejolak di dalam dirinya, ia menceritakan semuanya. Ia mengulang kata-kata terakhir Budi.

“Dia bilang … Hartono cuma manajer. Dia bilang, bos yang sesungguhnya adalah … mentor kita.”

Reaksi pertama datang dari layar monitor. Bunga, yang sejak tadi wajahnya pucat karena khawatir, langsung berdiri, matanya memerah karena amarah.

“BOHONG! ITU FITNAH!” teriaknya, suaranya pecah dan penuh luka. “Itu omong kosong dari seorang pengkhianat yang putus asa! Ayahku yang udah nyelamatin kalian berkali-kali! Dia yang ngasih kita semua informasi ini! Dan kalian lebih percaya omongan bajingan itu daripada Ayahku?!”

Keyakinan dan rasa sakit dalam suara Bunga begitu kuat, begitu tulus, hingga membuat keraguan di hati Angkasa goyah.

Lihat selengkapnya