Pagi setelah perjalanan pulang dari neraka Jonggol tidak membawa serta fajar yang baru. Langit Jakarta tetap berwarna kelabu, seolah ikut berduka atas kepercayaan yang telah mati. Di dalam markas persembunyian mereka di Jakarta Timur, sebuah gudang logistik yang dingin dan berbau debu, atmosfer terasa lebih berat daripada beton di sekeliling mereka. Kemenangan terasa seperti kebohongan. Mereka berhasil membawa pulang Budi, namun di saat yang sama, mereka membawa pulang sebuah racun, sebuah pertanyaan mengerikan yang kini menginfeksi setiap tatapan dan keheningan di antara mereka.
Budi, sang pengkhianat, kini diikat di sebuah kursi di sudut paling gelap gudang, mulutnya disumpal. Ia bukan lagi sumber informasi; ia kini hanyalah sebuah monumen bisu dari perpecahan mereka, sebuah bom waktu yang terus berdetak dalam diam. Setiap kali tatapan salah satu dari mereka jatuh padanya, yang terlihat bukanlah kemenangan, melainkan bayangan dari kegagalan mereka sendiri.
Di tengah ruangan, dewan perang yang mustahil itu berkumpul. Angkasa duduk di ujung meja, wajahnya keras dan lelah, matanya memerah karena malam tanpa tidur yang dihabiskan untuk memutar ulang setiap kata Budi, mencari celah, mencari kebohongan, namun yang ditemukan hanyalah logika yang menakutkan. Di sekelilingnya, sisa-sisa kawanannya membawa lukanya masing-masing.
Dika duduk di lantai, bersandar di dinding, mengasah pisau lipatnya dengan gerakan lambat, ritmis, dan meditatif. Setiap gesekan baja di atas batu asah terdengar seperti detak jantung yang dingin, sebuah luapan amarah yang ia salurkan ke dalam mata pisaunya.
Tio, di kursi rodanya, menatap laptop di pangkuannya dengan kening berkerut, otaknya yang analitis terjebak dalam perang antara data dan kemungkinan yang tak terukur. Dan Nova, ia berdiri di dekat pintu keluar yang sedikit terbuka, seolah sebagian dari dirinya sudah siap untuk melarikan diri dari ruangan yang menyesakkan itu. Tangannya bersedekap, wajahnya tak menunjukkan emosi, sebuah topeng dingin yang ia pasang untuk menyembunyikan hatinya yang kini dipenuhi skeptisisme.
Dua layar monitor di atas meja menampilkan wajah Bunga dan Aisha, menghubungkan dunia mereka yang berbeda ke dalam satu titik krisis. Wajah Bunga masih menunjukkan sisa-sisa amarah dan luka hati dari tuduhan terhadap ayahnya, namun ia tetap profesional, loyalitasnya pada Angkasa memaksanya untuk tetap berada di sana. Sementara wajah Aisha, yang biasanya tenang, kini dipenuhi oleh kekhawatiran yang mendalam saat ia menatap murid-muridnya yang berada di ambang kehancuran.
“Oke,” kata Angkasa, suaranya mantap, mencoba memproyeksikan keyakinan yang tidak sepenuhnya ia rasakan. “Kita semua sudah sepakat. Omong kosong Budi kita kubur untuk sementara. Misi kita enggak berubah. Hartono Wijoyo. Dia kepalanya. Hari ini, kita akan merancang cara untuk memotong kepala itu.”
Papan tulis putih di depan mereka menjadi kanvas untuk perang terakhir mereka. Di puncaknya, Tio menuliskan nama target utama: HARTONO WIJOYO.
“Kita punya dua pendekatan utama,” kata Tio, memulai analisisnya. “Pendekatan pertama: fisik. Langsung dan brutal. Pendekatan kedua: sistemik. Lambat, tapi menghancurkan.”
Dika langsung menyambar kesempatan itu, menghentikan gerakan pisaunya. Suara gesekan baja yang berhenti membuat semua orang menoleh padanya. “Enggak perlu mikir lagi,” katanya, suaranya rendah dan berbahaya. “Itu bukan pendekatan. Itu pilihan antara cara seorang prajurit atau cara seorang pengecut.”