Keputusan telah dibuat. Di dalam gudang persembunyian mereka yang dingin, sebuah kesunyian yang tegang kini menggantikan perdebatan yang panas. Mereka bukan lagi sekawanan serigala yang saling menggonggong dalam kebingungan, melainkan sebuah unit operasi khusus yang bergerak dengan satu tujuan tunggal yang mematikan. Papan tulis di ruang utama kini menjadi altar bagi perang mereka, dipenuhi oleh bagan-bagan alur serangan, nama-nama target, dan jadwal yang presisi. Setiap anggota memiliki peran, setiap langkah telah diperhitungkan.
Hari-hari berikutnya adalah persiapan yang penuh dengan ketegangan sunyi. Tio adalah jantung dari operasi ini. Ia mengurung diri di sudutnya, dikelilingi oleh tumpukan server darurat dan kabel-kabel yang berserakan, wajahnya hanya diterangi oleh cahaya kebiruan dari tiga monitornya. Ia bekerja tanpa henti, seperti seorang ahli pembuat bom yang sedang merakit hulu ledak paling rumit dalam hidupnya.
Paket data pertama, yang ia sebut "Umpan Ikan Piranha", ia susun dengan kejelian seorang sutradara film thriller. Ia tidak hanya mengumpulkan data; ia merangkainya menjadi sebuah cerita yang sensasional dan mudah dicerna oleh publik yang lapar akan skandal. Ia menyatukan bukti perjudian ilegal Hartono dengan wawancara anonim yang ia rekayasa dengan mengubah suara salah satu anak buah Dika yang paling pandai bicara dengan "korban" yayasan amal fiktifnya. Ia bahkan menambahkan beberapa foto mewah dari gaya hidup Hartono yang ia curi dari akun media sosial pribadi kerabat jauhnya, menyandingkannya dengan foto-foto kumuh dari panti asuhan yang seharusnya ia bantu. Itu adalah sebuah paket kebencian yang sempurna, dirancang untuk memancing amarah dan penghakiman massa.
Paket kedua, yang ia namai "Palu Godam", adalah antitesisnya. Tidak ada emosi, tidak ada drama. Hanya data mentah yang dingin dan tak terbantahkan. Ratusan halaman akta perusahaan cangkang, analisis forensik Aisha tentang tanda tangan palsu yang dipindai dengan resolusi tertinggi, dan catatan-catatan transfer bank yang membosankan namun secara hukum sangat mematikan. Paket ini adalah peluru penembak jitu yang disiapkan untuk ditembakkan di saat yang paling tepat.
Sementara Tio berperang di dunia maya, Dika mengubah seluruh sisa pasukan mereka menjadi hantu. Ia menarik semua anggota dari pos-pos yang terbuka, memerintahkan mereka untuk tiarap dan berbaur. Yayasan Serigala Perkasa seolah lenyap dari jalanan Jakarta Selatan. Ini adalah strategi berisiko tinggi yang membuat beberapa koordinator lapangan panik, namun Dika menegakkannya dengan disiplin baja. “Lebih baik musuh mikir kita udah mati,” geramnya dalam sebuah pengarahan, “daripada mereka tahu di mana harus nembak kita.”
Nova, dengan ketenangannya yang kembali, menjadi penghubung utama, urat nadi dari seluruh operasi senyap ini. Ia berkomunikasi dengan sisa-sisa koordinator mereka yang paling setia melalui aplikasi pesan terenkripsi, memastikan setiap orang memahami protokol darurat tanpa membocorkan detail dari rencana utama. Ia adalah sang Ratu di papan catur, menggerakkan bidak-bidak kecil di lapangan dengan presisi, memastikan semuanya siap saat Raja mereka membuat langkah terakhir.
Dan Angkasa, ia adalah pusat dari semua persiapan itu. Ia tidak lagi terlibat dalam detail teknis. Tugasnya adalah menjaga agar api di dalam kawanan yang rapuh ini tetap menyala. Ia memastikan Dika tidak meledak dalam frustrasi, ia memastikan Tio tidak tenggelam dalam lautan data, dan ia memastikan Nova tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Namun di dalam hatinya sendiri, ia merasakan ketegangan yang luar biasa. Ia akan memulai sebuah perang yang tidak bisa ia kendalikan. Ia akan melepaskan sebuah badai yang dampaknya tidak bisa ia prediksi. Ini adalah pertaruhan terakhirnya.
Hari penyerahan data itu tiba. Angkasa memilih untuk bertemu Ratih seorang diri. Ini adalah pesan kepercayaan, sebuah sinyal bahwa ia mempertaruhkan segalanya di tangan jurnalis muda itu. Mereka bertemu di sebuah pujasera di sebuah mal tua yang nyaris bangkrut di pinggiran kota—tempat yang ramai namun anonim, tempat di mana tidak ada yang akan memperhatikan seorang pemuda bertampang keras yang sedang berbicara dengan seorang wanita berkacamata yang tampak biasa saja.
Ratih datang dengan wajah tegang, kantung mata di bawah matanya menunjukkan ia juga tidak tidur nyenyak. Ia tahu risiko dari cerita ini. Ini bukan lagi sekadar berita; ini adalah sebuah deklarasi perang melawan salah satu orang paling berkuasa di negeri ini.
“Anda bawa barangnya?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya nyaris berbisik.
Angkasa tidak menjawab. Ia hanya mendorong sebuah kotak makan siang sederhana ke seberang meja, kotak yang sama yang biasa digunakan oleh para kuli bangunan untuk membawa bekal. Ratih menatapnya dengan bingung.
“Di bawah lapisan nasi dan telur dadar, ada sebuah flash disk,” kata Angkasa pelan. “Di dalamnya ada semua yang gue punya. Semua bukti yang lo butuhin buat ngancurin dia. Umpan Ikan Piranha. Cukup buat bikin seluruh kota gempar.”