Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #45

Gema di Hutan yang Terbakar

Kemenangan di dunia maya terasa seperti narkotika. Selama beberapa jam pertama setelah artikel Ratih meledak, markas persembunyian Lima Serigala dipenuhi oleh adrenalin murni. Mereka terpaku di depan layar monitor, menyaksikan kerajaan kertas Hartono Wijoyo terbakar dalam api kemarahan publik. Setiap lonjakan jumlah pembaca, setiap tagar yang menjadi tren, setiap kutipan dari media lain, terasa seperti sebuah kemenangan telak, sebuah pukulan yang mereka daratkan dari jarak ribuan kilometer.

Tio adalah pusat dari euforia itu. Matanya yang biasanya tenang kini menyala dengan energi seorang peretas yang baru saja berhasil membobol sistem pertahanan negara. Jarinya menari di atas keyboard, membuka puluhan jendela analisis data secara bersamaan. “Traffic-nya eksponensial, Ang!” serunya, suaranya dipenuhi oleh kekaguman teknis. “Server portal berita itu nyaris jebol. Ratih sekarang bukan lagi sekadar jurnalis, dia jadi selebriti dalam semalam. Lihat ini, jejak digital Hartono sedang dihancurkan habis-habisan. Semua artikel positif tentang dia terkubur di bawah gelombang sentimen negatif. Secara digital, dia sudah mati.”

Dika, di sisi lain, merasakan kemenangan itu dengan cara yang berbeda. Ia mondar-mandir di dalam gudang yang sempit, tinjunya sesekali menghantam telapak tangannya sendiri. Kemenangan ini terasa abstrak baginya, tidak memuaskan dahaga balas dendamnya. “Jadi kita cuma nonton?” tanyanya, nadanya gelisah. “Kapan kita bergerak? Harusnya sekarang, saat mereka lagi panik, kita serbu semua sisa-sisa markas mereka!”

“Sabar, Dik,” kata Nova, matanya tak lepas dari ponselnya, memantau pergerakan di lapangan. Suaranya terdengar tenang, namun Angkasa bisa melihat ketegangan di bahunya. “Publik bisa berbalik arah secepat mereka mendukung kita. Kalau kita bergerak sekarang dengan kekerasan, kita justru akan memberi Hartono amunisi untuk memfitnah kita sebagai teroris yang menjebaknya.”

Angkasa hanya diam, mengamati semuanya. Ia merasakan secercah kepuasan yang dingin, namun itu tertutupi oleh firasat buruk yang terus merayap di punggungnya. Ia tahu betul sifat binatang buas seperti Hartono. Naga yang terluka tidak akan mati hanya karena hutannya terbakar. Justru sebaliknya, ia akan mengamuk, membakar seluruh hutan untuk membunuh satu pemburu yang telah melukainya.

Saat itulah ponselnya berdering. Nama “Bang Jago” terpampang di layar.

“Gue udah liat beritanya,” kata suara berat itu, terdengar tenang seperti biasa. “Kerja bagus, Ang. Lo berhasil bikin seluruh kota gempar.”

“Ini baru permulaan, Bang,” jawab Angkasa.

“Justru itu,” kata Bang Jago. “Lo harus hati-hati. Ini adalah momen paling berbahaya buat kalian.” Ia berhenti sejenak. “Naga yang terluka akan membakar seluruh hutan untuk membunuh satu pemburu. Hartono itu sekarang lagi terdesak. Dan orang yang terdesak akan melakukan hal-hal yang paling nekat dan paling kotor. Lo udah narik perhatian penuhnya.”

“Gue dan teman-teman udah siap,” balas Angkasa, mencoba terdengar lebih percaya diri daripada yang ia rasakan.

“Kalian butuh tempat aman,” kata Bang Jago tegas. “Gudang itu udah enggak aman lagi. Gue udah siapkan beberapa safe house buat kalian berpindah-pindah. Anak buah gue akan jemput kalian dan Budi. Jangan menolak. Ini bukan saran, ini perintah.”

Sebelum Angkasa sempat menjawab, Bang Jago sudah menutup telepon. Perhatiannya terasa seperti sebuah perlindungan, namun juga sebuah kendali yang semakin mengikat.

Di belahan lain kota, di dalam sebuah penthouse yang terasa dingin meskipun pemanas ruangan menyala, Hartono Wijoyo tidak panik. Ia marah. Amarahnya bukanlah amarah yang meledak-ledak seperti Dika, melainkan amarah yang dingin, terukur, dan mematikan. Ia duduk di kursi kulitnya yang mahal, menatap layar raksasa di dindingnya yang menampilkan puluhan berita tentang dirinya. Di hadapannya, berdiri kepala tim keamanan dan tim hukumnya, menunduk seperti pesakitan yang menunggu vonis.

Lihat selengkapnya