Kemenangan terasa seperti racun di dalam darah Angkasa. Berita tentang serangan brutal terhadap Ratih menyebar seperti api di antara mereka, membakar habis sisa-sisa euforia yang sempat mereka rasakan. Di dalam gudang persembunyian mereka yang dingin, Angkasa menatap layar ponselnya, membaca detail laporan medis Ratih yang dikirim oleh salah satu kontak Bunga: patah tulang multipel di kedua tangan, kerusakan saraf permanen. Ia tidak akan pernah bisa memegang pulpen dengan normal lagi.
Rasa bersalah menghantam Angkasa dengan kekuatan sebuah truk kontainer. Setiap kata dukungan yang ia berikan pada Ratih, setiap janji bahwa ia akan melindunginya, kini terasa seperti kebohongan yang keji. Ia telah mendorong seorang warga sipil, seorang pejuang kebenaran, ke dalam garis tembak, dan ia tidak melakukan apa pun untuk melindunginya saat peluru itu datang. Darah Ratih ada di tangannya.
“Ini udah kelewatan, Ang,” geram Dika, suaranya rendah dan berbahaya. Ia berhenti mengasah pisaunya, matanya yang merah menatap Angkasa. “Lo liat kan? Ini bahasa yang mereka pakai. Bahasa darah. Kita mau bales mereka pakai apa? Kirim email lagi?”
Frustrasi dan amarah Dika kini terasa begitu valid, begitu benar, hingga Angkasa tidak bisa membantahnya. Strategi perang dingin mereka telah gagal. Gagal total. Mereka mencoba bermain cerdas, dan hasilnya adalah seorang wanita tak bersalah kini terbaring cacat di rumah sakit.
“Mereka pikir kita takut,” lanjut Dika. “Mereka pikir kita udah jadi anjing kantoran yang cuma bisa menggonggong di dunia maya. Kita harus tunjukkin sama mereka, kalau serigala itu masih punya taring.”
Angkasa menatap Dika, lalu pada Tio dan Nova. Ia melihat di mata mereka bukan lagi keraguan, melainkan sebuah kemarahan yang sama, sebuah tekad yang lahir dari rasa muak. Serangan pada Ratih telah menyatukan mereka kembali dengan cara yang paling brutal. Pilihan untuk bermain aman telah lenyap.
Saat itulah Angkasa membuat keputusannya. Semua keraguan, semua pertimbangan moral yang rumit, semua nasihat untuk bermain cerdas, kini terasa seperti kemewahan yang tidak lagi ia miliki. Musuh telah melewati batas. Kini, giliran dia.
“Lo bener, Dik,” kata Angkasa, suaranya dingin dan tanpa emosi. Ia berdiri, dan seluruh ruangan seolah menahan napas. Pemimpin mereka yang ragu telah hilang, digantikan oleh Elang Angkasa yang dulu. “Udah cukup main-mainnya.”
Ia menatap Tio. “Paket ‘Palu Godam’. Kirim sekarang.”