Jakarta bersorak. Selama seminggu penuh setelah penangkapan Hartono Wijoyo, kota itu seolah merayakan sebuah festival kemerdekaan. Media-media menahbiskan Lima Serigala sebagai pahlawan rakyat, sekelompok anak muda pemberani yang berhasil meruntuhkan tiran dari bawah tanah. Kisah mereka diromantisasi, keberanian mereka dilebih-lebihkan. Mereka telah menjadi legenda urban, sebuah simbol bahwa bahkan raksasa pun bisa tumbang.
Di dalam markas persembunyian mereka, gema kemenangan itu terasa begitu nyata. Dika adalah perwujudan dari euforia itu. Ia tertawa lebih keras dari biasanya, merangkul anak buahnya, dan terus-menerus memutar ulang rekaman siaran berita penangkapan Hartono di ponselnya seperti sedang menonton final Piala Dunia. Baginya, ini adalah validasi dari semua darah dan keringat yang telah ia tumpahkan. Mereka telah menang, dan dunia mengakuinya.
Nova, dengan caranya yang lebih tenang, juga merasakan kelegaan yang luar biasa. Beban yang selama ini menekan pundaknya telah terangkat. Ia mulai tersenyum lebih sering, senyum tulus yang telah lama hilang. Ia sibuk mengoordinasikan sisa-sisa pasukan mereka, bukan lagi untuk berperang, melainkan untuk membangun kembali. Ada harapan di matanya. Harapan akan sebuah masa depan yang damai.
Mereka semua merayakan. Mereka semua bernapas lega.
Kecuali Angkasa.
Bagi Angkasa, kemenangan ini terasa seperti ilusi. Ia ikut tersenyum saat Dika melontarkan lelucon. Ia mengangguk saat Tio memaparkan rencana bisnisnya. Namun di dalam dirinya, ia merasa seperti seorang penyintas tunggal yang berdiri di tengah hutan yang baru saja terbakar. Asapnya mungkin telah hilang, namun bau hangus dari pengkhianatan dan kebohongan masih melekat di udara, mencekik paru-parunya.
Pesan singkat dari nomor Budi, “Satu raja tumbang. Pion-pion kembali ke kotaknya. Selamat.” terus terngiang di benaknya seperti mantra kutukan. Itu bukan pesan dari seorang pecundang. Itu adalah pesan dari seorang pemain catur yang baru saja mengorbankan rajanya untuk memenangkan permainan yang lebih besar. Pion-pion kembali ke kotaknya. Ia merasa seperti seekor anjing pemburu yang setelah berhasil menangkap mangsanya, kini diperintahkan untuk kembali ke kandangnya oleh sang majikan.
Ia merasa terisolasi dalam paranoia-nya. Bagaimana ia bisa menjelaskan keraguan ini pada teman-temannya yang sedang mabuk kemenangan? Mengatakan bahwa ia mencurigai Bang Jago, mentor mereka, penyelamat mereka, akan terdengar seperti sebuah kegilaan. Ia akan terlihat seperti seorang pemimpin yang tidak tahu berterima kasih, yang selamanya tidak akan pernah puas. Terlebih lagi, keraguan ini bukan lagi sekadar firasat buruk; itu adalah gema dari bisikan beracun Budi ketika ditangkap. Mengakui bahwa ia memikirkan kata-kata seorang pengkhianat sama saja dengan mengakui bahwa racun itu telah berhasil masuk ke dalam benaknya. Jadi, ia memilih diam, membiarkan keraguan itu menggerogotinya dari dalam.
Untuk melarikan diri dari hantu-hantu di kepalanya, ia mencari satu-satunya oase kedamaian yang ia miliki. Ia menemui Aisha.
Kali ini, pertemuannya berbeda. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi rahasia. Dengan jatuhnya Hartono, ancaman langsung terhadap Aisha telah lenyap. Untuk pertama kalinya, mereka bisa berjalan berdampingan di tempat umum tanpa harus terus-menerus mengawasi punggung mereka.
Mereka menghabiskan satu hari penuh dengan normalitas yang terasa begitu ajaib. Mereka pergi ke sebuah bioskop tua di pusat kota, menonton film drama romantis yang klise. Angkasa, yang terbiasa dengan film-film aksi yang brutal, mendapati dirinya tersentuh oleh cerita sederhana tentang cinta dan kehilangan. Di dalam kegelapan bioskop, dengan jemari Aisha yang hangat tergenggam di tangannya, ia merasakan sebuah kebahagiaan yang begitu murni hingga terasa menyakitkan.
Setelah itu, mereka makan di sebuah warung soto sederhana di pinggir jalan, duduk di bangku plastik, dikelilingi oleh tawa dan obrolan orang-orang biasa. Angkasa menatap Aisha yang sedang tertawa karena salah satu leluconnya. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, wanita itu terlihat begitu cantik, begitu nyata. Inilah kehidupan yang ia rindukan. Kehidupan di mana nilai seorang lelaki tidak diukur dari seberapa banyak musuh yang telah ia kalahkan, melainkan dari seberapa besar senyum yang bisa ia ciptakan di wajah orang yang ia cintai.
"Kamu tahu," kata Aisha pelan sambil mengaduk sotonya, "Ibu tidak pernah melihatmu setenang ini, Lang."
"Karena saya tidak pernah merasa setenang ini, Bu," jawab Angkasa jujur. "Di sini, bersama Ibu, rasanya ... saya tidak perlu menjadi Angkasa. Saya cukup menjadi Elang."