Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #48

Panggung Sandiwara Sang Dalang

Keheningan di dalam ruang server itu terasa lebih berat daripada kematian. Udara yang tadinya dipenuhi oleh ketegangan kini terasa hampa, seolah semua oksigen telah tersedot keluar, meninggalkan Angkasa dan Tio dalam sebuah vakum kengerian yang absolut. Cahaya kebiruan dari layar monitor memantulkan bayangan panjang dan bergetar di dinding, mengubah ruangan kecil itu menjadi sebuah makam bagi semua kemenangan dan kepercayaan yang pernah mereka miliki.

“Ini … ini enggak mungkin,” bisik Angkasa, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap barisan kode di layar, mencoba menemukan sebuah kesalahan, sebuah penjelasan lain yang lebih masuk akal. Namun yang ia lihat hanyalah kebenaran yang dingin, logis, dan tak terbantahkan. Tanda tangan digital itu, jejak dari tim keamanan Bang Jago, terpatri di sana seperti sebuah merek di atas kulit ternak.

Tio tidak menjawab. Ia hanya bersandar di kursi rodanya, tubuhnya gemetar pelan. Wajahnya yang biasanya tenang dan analitis kini pucat pasi, matanya menatap kosong ke depan. Dunianya, yang dibangun di atas fondasi data dan logika, baru saja hancur berkeping-keping. Setiap baris kode yang ia bangun, setiap firewall yang ia rancang, setiap sistem yang ia banggakan, ternyata hanyalah sebuah sangkar emas yang dibangun oleh orang lain. Selama ini, ia bukan seorang arsitek; ia hanyalah seorang narapidana yang diizinkan untuk mendekorasi selnya sendiri.

Angkasa merasakan hawa dingin yang merayap dari telapak kakinya, naik ke tulang punggungnya, dan membekukan otaknya. Pikirannya yang biasanya tajam kini terasa lambat, mencoba memproses skala pengkhianatan yang begitu masif, begitu total. Ini bukan lagi sekadar pengkhianatan dari seorang saudara seperti Budi. Ini adalah pengkhianatan dari seorang dewa, dari sosok yang selama ini mereka anggap sebagai penyelamat dan mentor.

Pikirannya berputar, memutar ulang setiap momen krusial dalam sejarah mereka, namun kini setiap adegan diterangi oleh cahaya baru yang mengerikan.

Duel di pekarangan rumah Bang Jago. Kemenangannya yang terasa begitu heroik. Apakah itu benar-benar sebuah kemenangan? Atau hanya sebuah audisi? Sebuah tes yang dirancang oleh Bang Jago untuk melihat apakah bocah jalanan ini cukup kuat, cukup nekat, untuk dijadikan pion utama dalam permainannya? Kelemahan di selangkangan itu … apakah itu benar-benar sebuah kelemahan, atau sebuah celah yang sengaja dibuka, sebuah umpan yang dengan bodohnya ia telan?

Penangkapan Nova. Bantuan Bang Jago yang datang begitu cepat, begitu sempurna, membebaskannya dari cengkeraman hukum. Apakah itu pertolongan tulus dari seorang sekutu? Atau sebuah pertunjukan kekuasaan? Sebuah cara untuk membuat Lima Serigala semakin berhutang budi, semakin terikat pada sang dalang, sekaligus sebuah pesan halus pada Sindikat bahwa ada pemain baru yang bisa menyentuh aparat.

Dan perang melawan Hartono. Setiap nasihat Bang Jago, setiap informasi intelijen yang ia berikan, setiap koneksi yang ia buka. Apakah itu semua bimbingan seorang mentor? Atau langkah-langkah presisi dari seorang grandmaster catur yang sedang mengorbankan bidak-bidak musuh dengan menggunakan pion-pionnya sendiri? Mereka berpikir mereka sedang berperang untuk diri mereka sendiri. Kenyataannya, mereka hanyalah anjing pemburu yang dilepaskan oleh tuannya untuk membersihkan hutan dari serigala-serigala lain yang mengganggu.

“Dia … mainin kita semua,” desis Angkasa, suaranya bergetar karena campuran antara amarah dan rasa mual. “Dari awal. Semuanya. Ini semua cuma panggung sandiwara dia.”

“Bukan cuma mainin kita, Ang,” balas Tio, akhirnya menemukan kembali suaranya, meskipun terdengar parau. Ia menunjuk layar. “Program pengintai ini enggak pasif. Dia aktif. Ada lognya. Beberapa informasi tentang kelemahan Sindikat … itu sengaja dibocorkan ke kita lewat sistem ini. Dia enggak cuma nonton. Dia yang jadi sutradaranya. Dia yang ngasih kita naskahnya.”

Kebenaran itu menghantam Angkasa dengan kekuatan penuh. Mereka tidak pernah benar-benar pintar. Mereka tidak pernah benar-benar kuat. Mereka hanya mengikuti sebuah alur cerita yang telah ditulis oleh orang lain. Setiap kemenangan yang mereka banggakan, setiap strategi yang Tio rancang, mungkin hanyalah hasil dari informasi yang sengaja disuapkan pada mereka.

Tiba-tiba, Angkasa teringat pada sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

“Bunga …” bisiknya. “Dan Bu Aisha …”

Tio menatapnya, matanya membesar saat ia mengerti arah pikiran Angkasa. Program pengintai itu merekam semuanya. Setiap percakapan. Setiap pesan. Bang Jago tidak hanya tahu strategi bisnis mereka. Ia tahu setiap rahasia hati Angkasa. Ia tahu tentang perasaannya pada Bunga. Dan yang lebih parah, ia tahu tentang hubungannya dengan Aisha. Ia tahu persis di mana harus menusuk Angkasa jika ia berani membangkang.

Saat itulah pintu ruang server terbuka. Dika melangkah masuk, wajahnya berseri-seri penuh kemenangan. “Gimana? Udah nemu jejak si Budi di sistem? Gue baru aja selesai interogasi dia lagi. Tetep bungkam soal bosnya yang lain,” katanya dengan bangga.

Lihat selengkapnya