Pagi setelah kebenaran yang menghancurkan itu terungkap, markas persembunyian Lima Serigala terasa seperti sebuah kapal selam yang kehabisan oksigen. Udara terasa berat, pengap, dipenuhi oleh paranoia dan ketakutan yang tak terucap. Setiap sudut gelap seolah memiliki mata, setiap suara dari luar terdengar seperti langkah kaki musuh. Mereka tidak lagi merasa seperti pemburu yang sedang merencanakan serangan. Mereka merasa seperti mangsa yang sedang menunggu eksekusi.
Angkasa tidak tidur. Ia menghabiskan malamnya duduk di depan layar monitor Tio, menatap barisan kode program pengintai itu berulang kali, seolah berharap jika ia menatapnya cukup lama, kebenaran yang mengerikan itu akan berubah menjadi sebuah kesalahan. Namun kode itu tetap sama. Dingin, logis, dan tak terbantahkan. Ia menatap wajahnya di pantulan layar yang gelap. Wajah seorang pemimpin yang telah menggiring kawanannya masuk ke dalam mulut naga, dan kini harus menemukan cara untuk keluar dari perut binatang itu.
Sarapan pagi itu adalah sebuah ritual yang sunyi. Nova meletakkan beberapa piring berisi mi instan di atas meja. Tidak ada yang bicara. Dika hanya menusuk-nusuk minya dengan garpu, tatapannya kosong. Tio mencoba makan, namun tangannya sedikit gemetar. Rasa takut itu bukan lagi emosi; melainkan entitas hidup yang duduk bersama mereka di meja itu, mencicipi setiap suap makanan mereka yang terasa hambar.
“Kita enggak bisa begini terus,” kata Angkasa akhirnya, suaranya memecah keheningan yang menyiksa.
Semua mata tertuju padanya.
“Gue tahu kalian takut. Gue juga,” akunya, sebuah pengakuan yang mengejutkan bagi Dika dan Nova. “Tapi kalau kita diam di sini dan membiarkan ketakutan ini melumpuhkan kita, kita sudah kalah bahkan sebelum perang dimulai. Bang Jago ngundang kita ke rumahnya malam ini. Itu bukan undangan. Itu adalah panggilan untuk penghakiman. Dia mau lihat, apakah pion-pionnya ini masih patuh, atau sudah waktunya dibuang dari papan catur.”
Ia menatap mereka satu per satu, matanya membara dengan intensitas yang baru, intensitas seseorang yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan selain kehilangan keluarganya.
“Kita akan datang ke pesta itu,” lanjutnya. “Kita akan tersenyum. Kita akan minum kopinya. Kita akan mainkan peran kita sebagai pion-pion bodoh yang sedang merayakan kemenangan palsu. Kita akan berikan dia pertunjukan terbaik dalam hidupnya. Tapi sementara kita bersandiwara di panggungnya, di belakang panggung, kita akan mempersiapkan pisau kita.”
Kata-kata itu, yang diucapkan dengan keyakinan yang dingin, berhasil menyalakan kembali secercah api di mata sahabat-sahabatnya.
Dewan perang itu kembali berkumpul. Namun kali ini, suasananya sangat berbeda. Mereka tidak lagi merencanakan serangan, melainkan sebuah pertahanan hidup yang paling rumit.
“Dia pasti sudah memonitor kita,” kata Tio, menunjuk ke sebuah titik merah yang berkedip di peta digitalnya. “Program pengintai itu masih aktif. Setiap kata yang kita ucapkan di sini, kemungkinan besar dia dengar.”
“Bagus,” sahut Nova, matanya berkilat tajam. “Kalau begitu, kita kasih dia drama yang ingin dia dengar.”
Selama satu jam berikutnya, mereka melakukan sebuah sandiwara yang brilian. Mereka sengaja berdebat dengan suara keras tentang bagaimana cara membagi sisa-sisa kekuasaan Hartono, tentang bonus yang akan mereka berikan pada anak buah, tentang rencana liburan mereka setelah semuanya aman. Mereka berperan sebagai sekelompok pemenang yang serakah dan naif. Sementara itu, di atas papan tulis putih, Tio mengetikkan rencana yang sesungguhnya dalam bahasa kode yang hanya mereka berempat mengerti.