Perjalanan menuju kediaman Bang Jago terasa seperti perjalanan ke alam baka. Di dalam mobil mewah yang kedap suara itu, tidak ada yang bicara. Angkasa, Dika, dan Nova duduk dalam keheningan yang tegang, masing-masing terkurung dalam penjara pikirannya sendiri. Cahaya lampu jalanan Jakarta yang melesat di luar jendela kaca yang gelap terasa seperti kilasan-kilasan kehidupan yang akan segera mereka tinggalkan. Angkasa memegang erat kotak hadiah berisi bingkai foto digital itu di pangkuannya. Kotak itu terasa dingin dan berat, seperti sebuah peti mati kecil yang berisi satu-satunya harapan mereka untuk bertahan hidup.
Saat gerbang besi raksasa rumah Bang Jago terbuka tanpa suara, menyambut mereka, Angkasa merasakan hawa dingin yang merayap di punggungnya. Rumah itu, yang dulu ia lihat sebagai simbol kekuasaan dan aliansi, kini terlihat seperti sebuah mausoleum yang megah, sebuah makam yang indah. Halaman yang terawat rapi, kolam ikan koi yang tenang, dan wangi bunga melati yang samar—semua elemen kedamaian itu kini terasa seperti sebuah ejekan yang kejam.
Mereka disambut di beranda, bukan oleh penjaga, melainkan oleh Bang Jago sendiri. Ia mengenakan kemeja batik sutra terbaiknya, senyumnya lebar dan hangat, seolah sedang menyambut anak-anaknya yang pulang setelah memenangkan perang. Di belakangnya, Bunga berdiri, wajahnya pucat namun ia memaksakan seulas senyum. Tatapan mata mereka bertemu sesaat dengan Angkasa, sebuah kilatan panik dan permohonan yang hanya bisa Angkasa mengerti.
“Selamat datang, para pemenang!” sapa Bang Jago, suaranya menggema penuh kebanggaan. Ia memeluk Angkasa dengan erat, sebuah pelukan yang terasa seperti jeratan seekor ular sanca. “Gue bangga sekali sama kalian semua.”
Ia kemudian menepuk pundak Dika. “Lo monster di lapangan, Dik. Gue dengar ceritanya.” Lalu ia mengangguk pada Nova. “Dan lo, Nov, gue dengar lo ratu di balik strategi. Hebat.”
Setiap pujian terasa seperti paku yang ditancapkan ke dalam daging mereka. Mereka harus tersenyum. Mereka harus berterima kasih. Pertunjukan telah dimulai.
“Ini semua berkat bimbingan Abang,” kata Angkasa, memainkan perannya, suaranya ia paksa agar terdengar tulus dan penuh rasa hormat.
“Omong kosong,” tawa Bang Jago. “Malam ini enggak ada bos, enggak ada anak buah. Malam ini kita semua keluarga. Ayo masuk, pestanya sudah siap.”
Bagian dalam rumah itu telah diubah menjadi sebuah ruang perayaan privat. Meja panjang dipenuhi dengan hidangan-hidangan mahal yang aromanya memenuhi udara. Beberapa orang kepercayaan Bang Jago yang paling senior duduk di sana, menatap mereka dengan senyum yang sulit diartikan. Di sudut ruangan, Tio sudah menunggu, duduk di kursi rodanya. Ia telah dijemput lebih dulu, sebuah cara Bang Jago untuk memisahkan mereka dan menunjukkan kendalinya. Tatapan mata Tio bertemu dengan Angkasa, sebuah sinyal tak terlihat yang mengatakan, ‘Hati-hati, semuanya diawasi.’
Makan malam itu adalah siksaan terpanjang dalam hidup mereka. Angkasa, Dika, dan Nova dipaksa untuk duduk, makan, dan tertawa, sementara setiap suap makanan terasa seperti pasir di mulut mereka. Bang Jago terus-menerus memuji mereka, menceritakan kembali kisah-kisah kemenangan mereka dengan versinya sendiri, seolah ia adalah sutradara yang sedang membahas film garapannya.
“Gue tahu dari awal lo punya bakat, Ang,” kata Bang Jago sambil menuangkan anggur mahal ke gelas Angkasa. “Waktu lo berani nantang gue duel, gue liat api di mata lo. Api yang sama yang gue punya waktu muda dulu. Gue cuma perlu ngasih sedikit bahan bakar biar apinya jadi kebakaran besar.”
Angkasa hanya tersenyum. Bukan bahan bakar, pikirnya getir. Tapi rantai.
Dika duduk di sebelah salah satu letnan Bang Jago, seorang lelaki tua bertato yang terus-menerus mengajaknya bersulang. Dika harus tertawa, harus menimpali lelucon-lelucon kasarnya, sementara di bawah meja, tangannya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarahnya pada Budi, pada Hartono, dan kini pada lelaki di hadapannya yang ia curigai sebagai dalang, mendidih di dalam dirinya, mengancam untuk meledak. Ia terus-menerus menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan diri.