Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #51

Di Ujung Benang

Di dalam istana kaca Bang Jago, waktu berjalan dengan ritme yang aneh dan menyiksa. Setiap detik terasa seperti sebutir pasir yang jatuh di dalam jam pasir raksasa, menghitung mundur menuju takdir yang tidak mereka ketahui.

Pertunjukan sandiwara Lima Serigala terus berlanjut di bawah tatapan tajam sang dalang. Dika, dengan perut yang terasa mual karena harus tertawa bersama para pembunuh, berhasil menjaga perannya sebagai prajurit yang sedikit bodoh namun setia. Nova, dengan ketenangannya yang dingin, bergerak di antara para tamu seperti bayangan, matanya yang awas memetakan setiap pintu keluar, setiap penjaga, setiap potensi ancaman. Dan Angkasa, ia duduk di samping sang raja, memainkan peran sebagai pangeran mahkota yang patuh.

Pesta itu sendiri adalah sebuah pertunjukan kekuasaan yang vulgar. Para letnan senior Bang Jago, lelaki-lelaki berwajah keras dengan tangan yang lebih terbiasa memegang senjata daripada gelas anggur bercerita tentang penaklukan dan kekerasan dengan nada bangga, seolah sedang mendongengkan kisah kepahlawanan. Angkasa dipaksa untuk mendengarkan, mengangguk, dan sesekali tertawa, sementara di dalam dirinya, setiap cerita itu terasa seperti sebuah sayatan pisau.

Inikah dunia yang ia perjuangkan? Inikah tahta yang ia dambakan?

Di tengah-tengah percakapan kosong itu, bisikan Tio di earpiece Angkasa adalah satu-satunya realitas yang berarti.

“Gue masuk. Kuda troya sudah di dalam benteng,” bisik Tio, suaranya dipenuhi oleh ketegangan seorang ahli bom yang baru saja mengaktifkan detonatornya. “Sistem keamanannya gila, Ang. Berlapis-lapis. Gue butuh waktu.”

Angkasa hanya bisa mengangguk kecil sebagai jawaban, berpura-pura sedang setuju dengan sebuah lelucon yang dilontarkan Bang Jago. “Benar, Bang. Pengalaman memang guru terbaik,” katanya, kata-kata itu terasa seperti abu di mulutnya.

“Bukan cuma pengalaman, Ang,” balas Bang Jago, menepuk pundak Angkasa dengan keras. “Tapi juga insting. Lo harus tahu kapan harus percaya, dan kapan harus memotong benang.” Ia menatap Angkasa dengan sorot mata yang tajam, sebuah tatapan yang terasa seperti interogasi. “Sama seperti yang lo lakuin ke si pengkhianat itu, Budi. Lo memotong benangnya di saat yang tepat. Gue salut.”

Angkasa hanya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar kencang. Apakah Bang Jago tahu Budi masih hidup? Ataukah ini hanya sebuah tes?

“Oke, fase pertama berhasil,” bisik Tio tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit lega. “Program pengintai yang memonitor kita … sudah offline. Kita aman untuk bicara, tapi tetap hati-hati. Sekarang gue mulai fase kedua: kloning data. Ini bagian yang paling lama dan paling berbahaya.”

Sebuah kelegaan kecil membanjiri Angkasa. Setidaknya, mereka tidak lagi sedang diawasi secara digital. Ia melirik ke arah Dika dan Nova, memberikan sebuah sinyal mata yang nyaris tak terlihat. Mereka mengerti.

Waktu terus merayap. Tiga puluh menit. Empat puluh lima. Angkasa terus memainkan perannya, menjawab pertanyaan, tertawa di saat yang tepat, sementara di dalam kepalanya, ia hanya bisa mendengar suara detak jam yang semakin kencang. Setiap menit yang mereka habiskan di tempat ini adalah sebuah pertaruhan nyawa.

Saat itulah momen yang mereka takuti terjadi. Seorang lelaki muda berpenampilan teknisi mendekati Bang Jago dengan wajah cemas.

“Maaf mengganggu, Bos,” bisiknya pelan, namun cukup keras untuk Angkasa dengar. “Ada sedikit anomali di jaringan utama kita. Traffic data tiba-tiba melonjak tanpa sebab yang jelas. Seperti ada yang sedang melakukan transfer file berukuran sangat besar.”

Seluruh tubuh Angkasa menegang. Ia melirik Tio, yang duduk diam di kursi rodanya di sudut ruangan, wajahnya tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Bang Jago mengerutkan kening. “Periksa,” perintahnya singkat.

“Gawat, Ang,” bisik Tio di earpiece. “Mereka tahu. Prosesnya baru jalan empat puluh persen. Kalau mereka cek ke router sekarang, kita ketahuan!”

Lihat selengkapnya