Keheningan yang mengikuti kata-kata Bunga terasa begitu absolut, begitu berat, hingga seolah mampu meretakkan pilar-pilar marmer di sekeliling mereka. Waktu membeku. Di ruang utama, tawa para letnan Bang Jago telah lenyap, digantikan oleh tatapan mata yang menegang, tangan-tangan yang perlahan bergerak mendekati senjata tersembunyi di balik jas mereka. Di sudut ruangan, Tio membeku di kursi rodanya, jarinya melayang di atas keyboard, tidak berani membuat satu gerakan pun.
Angkasa, Dika, dan Nova berdiri terpaku di ambang pintu koridor, terjebak di bawah sorotan lampu, seperti tiga aktor yang tiba-tiba lupa dialognya di tengah-tengah pertunjukan paling krusial dalam hidup mereka. Mereka telah gagal. Sandiwara mereka telah terbongkar di langkah terakhir oleh orang yang paling tidak mereka duga. Jantung Angkasa serasa jatuh ke lantai, hancur berkeping-keping. Mereka akan mati di sini.
Bunga berdiri di antara mereka dan ayahnya, sebuah sosok rapuh yang kini menjadi pusat dari seluruh alam semesta yang siap meledak itu. Wajahnya pucat, namun matanya sama tajamnya dengan mata ayahnya tidak menunjukkan keraguan. Ia menatap ayahnya, lalu kembali menatap Angkasa. Keheningan itu hanya berlangsung beberapa detik, namun di dalamnya, sebuah perang tak terlihat sedang berkecamuk.
Lalu, Bunga tertawa.
Tawa itu begitu ringan, begitu alami, begitu tidak pada tempatnya, hingga membuat semua orang tertegun.
“Ayah,” katanya, suaranya terdengar sedikit menggoda, seperti seorang putri yang sedang menguji kesabaran ayahnya. “Aku hanya mau memastikan tamu kehormatan Ayah tidak tersesat. Bukankah Ayah sendiri yang bilang, koleksi anggur terbaik Ayah ada di ruang bawah? Aku pikir, sebagai tanda penghormatan tertinggi, Kak Angkasa mungkin ingin melihatnya.”
Itu adalah sebuah kebohongan yang brilian. Sebuah manuver catur yang tak terduga, yang dilontarkan dengan keyakinan penuh di tengah medan perang. Bunga tidak membela mereka; ia justru menciptakan sebuah skenario baru yang lebih rumit, sebuah panggung sandiwara di dalam panggung sandiwara. Ia melemparkan kembali bola api itu ke tangan ayahnya, memaksanya untuk bermain.
Bang Jago menatap putrinya, lalu menatap Angkasa. Senyum hangat di wajahnya tidak berubah, namun matanya yang tajam kini menyipit, menganalisis, membedah setiap ekspresi, mencari celah sekecil apa pun. Angkasa tahu, ini adalah ujian terakhirnya. Jika ia menunjukkan sedikit saja kepanikan, jika ia ragu, semuanya akan berakhir.
Ia memaksa dirinya untuk tersenyum, senyum seorang tamu yang sedikit canggung. “Ide bagus, Bunga,” katanya, suaranya ia buat terdengar santai. “Jujur, saya memang penasaran. Saya dengar koleksi Abang salah satu yang terbaik di Jakarta.”
Sandiwara itu kini kembali berjalan, namun dengan tensi yang seratus kali lebih tinggi. Bang Jago tertawa, tawa yang kini terdengar berbeda, lebih dalam dan lebih berbahaya.
“Tentu saja,” katanya, bangkit dari kursinya. “Kenapa tidak? Sebuah kehormatan bagiku untuk menunjukkannya pada penerusku.” Ia menepuk pundak Angkasa, cengkeramannya terasa sekuat baja. “Ayo. Ikut aku.”
Perjalanan menuju ruang anggur adalah perjalanan melintasi neraka. Mereka berjalan menyusuri koridor panjang yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan mahal dan artefak kuno. Bang Jago berjalan paling depan, Angkasa di sampingnya, dengan Dika dan Nova mengikuti di belakang, diapit oleh dua pengawal pribadi Bang Jago yang bergerak tanpa suara seperti hantu. Setiap langkah terasa seperti sebuah hitungan mundur. Angkasa bisa merasakan tatapan para letnan Bang Jago yang mengawasi mereka dari ruang utama, tatapan yang tidak lagi ramah, melainkan penuh kecurigaan.
Saat rombongan utama itu mulai menuruni tangga menuju ruang bawah tanah, Bunga tidak mengikuti. Ia justru berbalik, berjalan cepat dan tanpa suara ke sudut ruangan di mana Tio duduk membeku di kursi rodanya. Semua perhatian kini terfokus pada Angkasa dan Bang Jago. Ini adalah kesempatannya.
“Kak Tio, ikut aku! Sekarang!” bisik Bunga panik, meraih pegangan kursi roda itu.
Tio menatapnya, bingung dan ragu. “Tapi Angkasa …”
“Angkasa bisa jaga dirinya sendiri! Dia petarung! Kamu otak kita! Kalau kamu tertangkap, kita semua habis!” balas Bunga, logikanya yang tajam tetap bekerja bahkan di tengah kepanikan.
Di dekat mereka, ada sebuah pintu servis kecil yang biasanya digunakan oleh para katering, tersembunyi di balik sebuah tirai beludru tebal. Pintu itu menuju ke jalur landai di belakang rumah, jalan keluar yang tidak diketahui oleh Angkasa dan yang lainnya.
“Aku sudah siapkan jalan,” bisik Bunga lagi. Dengan kekuatan yang tak terduga, ia mendorong kursi roda Tio dengan cepat menuju pintu servis itu.
Sementara itu di ruang anggur itu lebih mirip sebuah museum pribadi daripada sebuah gudang. Ratusan botol anggur dari seluruh dunia tersimpan rapi di rak-rak kayu yang menjulang hingga ke langit-langit. Pencahayaannya temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar kecil dan dua kursi kulit telah disiapkan, seolah memang dirancang untuk sebuah percakapan yang sangat pribadi.
“Silakan duduk, Ang,” kata Bang Jago, sementara Dika, Nova, dan para pengawalnya berdiri di dekat pintu, menciptakan sebuah lingkaran penjagaan yang tak bisa ditembus.