Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #53

Kembali ke Titik Nol

Kegelapan di dalam terowongan itu terasa absolut, sebuah kegelapan yang hidup dan bernapas. Udara di dalamnya dingin dan apek, dipenuhi oleh bau tanah lembap dan besi berkarat yang telah puluhan tahun tidak tersentuh cahaya. Mereka berlari, dipandu hanya oleh cahaya redup dari layar ponsel Nova dan insting buta untuk menjauh dari neraka yang baru saja mereka tinggalkan. Suara langkah kaki mereka yang panik, deru napas yang terengah-engah, dan detak jantung yang berdebar liar adalah satu-satunya musik latar dalam prosesi pelarian mereka.

Angkasa berlari paling depan, tangannya sesekali meraba dinding beton yang kasar untuk menjaga keseimbangan. Pikirannya kosong, dilumpuhkan oleh adrenalin dan pengkhianatan yang begitu masif hingga otaknya menolak untuk memprosesnya. Ia tidak lagi berpikir sebagai seorang pemimpin atau ahli strategi. Ia hanyalah seekor binatang yang terluka, berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan sisa-sisa kawanannya dari cengkeraman predator puncak.

Di belakangnya, Dika setengah menyeret Nova, memastikan sahabatnya itu tidak terjatuh di lantai yang licin dan tidak rata. Amarah di dalam diri Dika begitu besar, begitu panas, hingga seolah menjadi obor yang menerangi kegelapan di sekelilingnya. Ia tidak takut. Ia marah. Marah pada Bang Jago, marah pada Budi, marah pada Bunga, dan yang paling utama, marah pada dirinya sendiri karena telah begitu bodoh, begitu buta, karena telah mengagumi seorang monster.

"Lebih cepat!" desis Dika, suaranya serak. "Gue bisa dengar suara mereka di belakang!"

Meskipun mungkin itu hanya paranoia, suaranya cukup untuk memacu langkah mereka yang mulai melambat karena kelelahan. Mereka terus berlari, menyusuri koridor bawah tanah yang terasa tak berujung. Setiap tikungan terasa seperti sebuah jebakan, setiap tetesan air dari langit-langit terdengar seperti langkah kaki pengejar.

Setelah perjalanan yang terasa seperti seumur hidup, mereka akhirnya melihatnya. Sebuah secercah cahaya redup di ujung terowongan. Sebuah tangga besi berkarat yang menanjak ke atas, menuju sebuah penutup selokan berbentuk persegi. Harapan.

Dengan sisa tenaga yang mereka miliki, mereka memanjat tangga itu. Dika, dengan bahunya yang kuat, mendorong penutup selokan itu dengan satu sentakan keras. Udara malam Jakarta yang penuh polusi tidak pernah terasa begitu segar, begitu manis. Satu per satu, mereka melompat keluar, terbatuk-batuk, mata mereka menyipit mencoba beradaptasi dengan cahaya lampu jalan yang temaram.

Mereka berada di sebuah gang sempit di belakang sebuah ruko kosong, beberapa kilometer dari kediaman Bang Jago. Mereka berhasil. Mereka bebas.

“Angkasa! Kalian berhasil!” Suara Tio yang panik dan penuh kelegaan meledak di earpiece mereka, menarik mereka kembali ke realitas. “Jangan diam di sana! Bergerak sekarang! Sebuah mobil Avanza hitam butut menunggu di ujung gang, di Jalan Merpati. Kuncinya ada di bawah ban depan. Cepat!”

Tanpa membuang waktu, mereka berlari lagi. Menyusuri gang-gang tikus yang gelap, menghindari jalan-jalan utama yang terang, setiap bayangan terasa seperti musuh, setiap suara motor yang lewat membuat mereka terlonjak kaget. Mereka adalah raja-raja yang kini telah kembali menjadi tikus selokan.

Mereka menemukan mobil itu. Sebuah mobil pengantar katering usang yang penyok di sana-sini, pilihan yang sempurna untuk tidak menarik perhatian. Dika langsung mengambil alih kemudi, menyalakan mesinnya yang berbatuk-batuk, dan melaju menembus malam.

Perjalanan menuju titik aman terakhir mereka adalah sebuah perjalanan yang sunyi. Adrenalin yang tadi memompa deras kini telah surut, meninggalkan endapan yang dingin dan berat: kelelahan, keputusasaan, dan kenyataan pahit dari apa yang baru saja terjadi.

Lihat selengkapnya