Fajar di pinggiran Bekasi tidak datang dengan cahaya keemasan yang lembut, melainkan dengan warna kelabu yang pucat, menyelinap masuk melalui satu-satunya jendela berterali di rumah kontrakan yang kini menjadi benteng sekaligus penjara mereka. Udara pagi terasa dingin dan berat, dipenuhi oleh bau debu, kopi basi, dan keputusasaan yang tak terucap. Mereka tidak tidur. Bagaimana mungkin mereka bisa tidur saat seluruh dunia yang mereka kenal telah lenyap dalam satu malam?
Angkasa duduk di lantai yang dingin, punggungnya bersandar di dinding yang lembap. Ia menatap kosong ke seberang ruangan, di mana Dika sedang duduk, membersihkan pisaunya berulang kali dengan gerakan mekanis yang sunyi. Amarah yang meledak-ledak dari Dika semalam telah surut, digantikan oleh keheningan yang jauh lebih menakutkan, keheningan seekor binatang buas yang terluka parah dan kini hanya menunggu untuk mati atau membunuh. Nova, dengan matanya yang bengkak namun tatapannya tetap tajam, sedang sibuk di sudut lain, menghitung sisa uang tunai mereka, beberapa gepok uang yang berhasil ia selamatkan, yang kini terasa seperti tumpukan kertas tak berarti.
Mereka adalah tiga jenderal tanpa pasukan, raja tanpa kerajaan, serigala tanpa kawanan. Kemenangan terasa begitu jauh, sebuah kata dari bahasa asing yang telah mereka lupakan.
“Dia tahu kita di sini.”
Suara Dika yang serak memecah keheningan, tanpa mengalihkan pandangan dari mata pisaunya yang berkilauan. “Cepat atau lambat, dia akan nemuin kita.”
“Kita harus bergerak lagi,” sahut Nova, suaranya datar. “Kita enggak bisa diam di satu tempat terlalu lama.”
Bergerak. Lari. Bersembunyi. Itulah yang tersisa dari perjuangan mereka. Angkasa memejamkan matanya, merasakan gelombang keputusasaan yang luar biasa mengancam untuk menenggelamkannya. Ia merasa seperti kembali ke hari di mana ayahnya meninggal. Kembali ke titik nol. Tidak. Ini lebih buruk dari titik nol. Dulu, mereka adalah hantu yang tidak dikenal. Kini, mereka adalah buronan terkenal yang wajahnya mungkin sudah disebar ke setiap preman dan aparat korup di kota ini.
Saat itulah, layar laptop di atas meja menyala, menampilkan wajah Tio dan Aisha. Kehadiran digital mereka adalah satu-satunya koneksi yang tersisa dengan dunia yang lebih waras.
“Bagaimana keadaan kalian?” tanya Tio, wajahnya di layar tampak lelah namun fokus.
“Kita masih hidup,” jawab Angkasa singkat. “Hanya itu.”
“Dengar,” kata Tio, suaranya serius, mencoba menarik mereka keluar dari jurang keputusasaan. “Gue udah habiskan malam ini untuk menganalisis data yang kita kloning. Skalanya … lebih besar dari yang pernah kita bayangkan, Ang.”
Ia menampilkan beberapa diagram di layarnya. Bagan-bagan rumit yang menunjukkan aliran dana, nama-nama perusahaan, dan koneksi-koneksi yang saling terkait. “Ini bukan cuma soal parkiran atau keamanan. Ini soal segalanya. Proyek properti, impor ilegal, penyelundupan, bahkan saham di beberapa perusahaan media. Bang Jago bukan cuma preman. Dia adalah sebuah korporasi kriminal yang tak terlihat.”
Dika mendengus. “Terus gunanya apa kita tahu semua itu sekarang? Kita bahkan enggak bisa keluar dari kontrakan ini tanpa takut ditembak!”
“Justru itu gunanya, Dik!” balas Tio, nadanya sedikit meninggi. “Ini adalah senjata kita! Ini adalah peta menuju jantungnya! Tapi ada satu masalah.”
Ia berhenti sejenak. “Semua file yang paling krusial, rekening bank luar negerinya, daftar nama pejabat yang dia bayar, bukti-bukti pembunuhan, semuanya dienkripsi dengan sistem keamanan level perbankan. Gue udah coba beberapa cara, tapi gagal. Membobolnya akan butuh waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun. Waktu yang kita enggak punya.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Mereka memiliki sebuah peti harta karun yang berisi senjata paling mematikan di dunia, namun peti itu terkunci rapat dan mereka tidak punya kuncinya.
“Jadi … percuma,” desis Dika, melemparkan pisaunya ke lantai. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding, matanya menatap langit-langit yang penuh sarang laba-laba. “Kita udah kalah.”
Melihat sahabatnya di ambang menyerah, sesuatu di dalam diri Angkasa akhirnya bangkit. Bukan lagi amarah atau rasa bersalah, melainkan api kecil dari Elang yang dulu, api yang menolak untuk padam.