Kotak Pandora itu telah terbuka. Selama berjam-jam, di dalam keheningan gudang yang pengap, Angkasa, Dika, Nova, dan Tio menatap layar laptop, tersesat di dalam labirin digital dari kejahatan dan konspirasi yang dibangun oleh Bang Jago selama puluhan tahun. Kengerian dari apa yang mereka temukan jauh melampaui semua yang pernah mereka bayangkan. Ini bukan lagi sekadar catatan bisnis ilegal; ini adalah cetak biru dari sebuah pemerintahan bayangan.
Setiap folder yang Tio buka adalah sebuah pintu menuju neraka yang baru. Ada daftar nama politisi di tingkat kota dan nasional, lengkap dengan catatan “donasi” rutin yang mengalir ke rekening pribadi mereka. Ada rekaman-rekaman percakapan yang disadap, di mana para penegak hukum terdengar sedang menegosiasikan harga untuk menutup sebuah kasus. Ada peta-peta proyek infrastruktur besar, dengan lingkaran-lingkaran merah yang menandai perusahaan-perusahaan milik Bang Jago yang “ditakdirkan” untuk memenangkan tender.
Dan yang paling mengerikan adalah folder bernama “Pembersihan”. Di dalamnya, tidak ada angka atau teks, hanya serangkaian foto. Foto-foto orang, seorang aktivis yang terlalu vokal, seorang jurnalis yang terlalu penasaran, seorang mitra bisnis yang mencoba berkhianat, diikuti oleh foto kedua dari orang yang sama, terbaring tak bernyawa di sebuah selokan atau di dalam mobil yang hangus terbakar. Setiap pasang foto adalah sebuah nyawa yang telah dipadamkan dalam sunyi.
Dika adalah yang pertama bereaksi. Ia bangkit dari duduknya, berjalan ke sudut ruangan, dan muntah. Amarahnya yang biasanya panas kini telah berubah menjadi rasa mual yang dingin. Monster yang selama ini ia lawan di jalanan ternyata hanyalah anak-anak TK dibandingkan dengan iblis yang duduk di atas tahta.
Nova hanya bisa menatap layar dengan wajah pucat pasi, tangannya tanpa sadar mencengkeram lengan kursi. Ia, yang selalu pragmatis dan fokus pada angka, kini melihat di balik angka-angka itu. Ia melihat penderitaan, ketidakadilan, dan sebuah kekuasaan absolut yang begitu besar hingga terasa mustahil untuk dilawan.
Tio, sang arsitek digital, menatap mahakarya lawannya dengan campuran antara kengerian dan kekaguman teknis yang aneh. “Struktur datanya … begitu rapi,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. “Dia membangun sebuah arsip kejahatan yang sempurna. Setiap file saling terhubung. Dia bukan sekadar preman, Ang. Dia seorang jenius yang jahat.”
Angkasa tidak mengatakan apa-apa. Ia merasakan beban dari setiap nama, setiap foto, setiap nyawa yang ada di dalam data itu menekan pundaknya. Ia tidak lagi hanya memegang bukti kejahatan; ia memegang nasib puluhan orang berkuasa, memegang potensi untuk menciptakan kekacauan yang bisa meruntuhkan stabilitas seluruh kota. Kekuatan ini, yang datang secara tiba-tiba, terasa lebih berat dan lebih berbahaya daripada senjata mana pun yang pernah ia genggam.
“Jadi … apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Dika setelah ia kembali, suaranya serak. “Kita sebarin semuanya ke internet? Biar seluruh negeri gempar?”
“Enggak,” jawab Tio cepat, otaknya yang analitis kembali bekerja. “Kalau kita ledakkan semua ini sekaligus, akan terjadi kepanikan massal. Orang-orang ini enggak akan jatuh begitu saja. Mereka akan melawan balik seperti binatang yang terpojok. Mereka akan menggunakan semua kekuatan mereka untuk membungkam kita selamanya sebelum bukti-bukti ini bisa diverifikasi. Kita akan menjadi musuh negara nomor satu dalam semalam.”
“Tio benar,” sahut Bu Aisha dari layar monitor, wajahnya terlihat sangat khawatir namun tetap mencoba menjadi jangkar logika. “Kalian enggak bisa melawan semua naga itu sekaligus. Kalian harus memilih satu target. Satu titik lemah yang jika kalian pukul, akan menyebabkan seluruh struktur itu goyah.”
Diskusi itu berlangsung hingga fajar. Mereka tidak lagi merencanakan sebuah serangan fisik, melainkan sebuah operasi bedah yang presisi. Mereka tidak akan meledakkan sebuah bom; mereka akan menyuntikkan racun langsung ke jantung naga itu.