Malam yang sama, di dalam gudang persembunyian yang kini telah berubah menjadi pusat komando perang gerilya, Angkasa, Nova, dan Tio menunggu. Keheningan di antara mereka terasa begitu tebal, dipenuhi oleh doa-doa yang tak terucap dan skenario-skenario terburuk yang berputar di benak masing-masing. Di layar laptop Tio, sebuah titik hijau kecil yang berkedip-kedip adalah satu-satunya koneksi mereka dengan Dika, satu-satunya bukti bahwa sahabat mereka masih bergerak, masih hidup, di luar sana, di dalam sarang para serigala.
Dika telah pergi satu jam yang lalu, menyelinap ke dalam kegelapan malam Jakarta dengan motor bebek curian yang mesinnya nyaris tak bersuara. Ia tidak lagi mengenakan seragam keamanannya yang gagah atau jaket kulitnya yang sangar. Ia mengenakan jaket kusam dari sebuah layanan ojek online, sebuah penyamaran yang sempurna untuk menjadi tak terlihat di lautan pengendara motor ibu kota. Di dalam ransel pengantar makanannya, tersembunyi dua amplop cokelat kecil yang identik. Dua bom waktu.
Misinya terasa seperti sebuah lelucon yang kejam: mengantarkan surat ke neraka.
Target pertama adalah yang paling sulit, yang paling mustahil. Rumah pribadi seorang Jenderal Polisi bernama Hidayat, tepatnya oknum Jendral Polisi Hidayat. Sebuah benteng modern yang tersembunyi di balik dinding-dinding tinggi di sebuah kawasan elite di Pondok Indah. Dika tahu, mendekati tempat itu saja sudah merupakan sebuah risiko.
Ia memarkir motornya beberapa blok jauhnya, berjalan kaki menyusuri jalanan yang sepi dan dipenuhi oleh rumah-rumah mewah yang seolah saling berlomba memamerkan kekayaannya. Udara di sini terasa berbeda, bersih dan dipenuhi aroma bunga melati yang merambat di pagar-pagar tinggi. Namun bagi Dika, udara itu terasa menyesakkan, dipenuhi oleh aura kekuasaan dan korupsi.
Ia berhenti di sebuah pos satpam di ujung jalan, berpura-pura memeriksa ponselnya sambil mengamati targetnya dari kejauhan. Rumah itu adalah sebuah benteng. Dinding setinggi empat meter dengan kawat berduri di atasnya. Kamera-kamera CCTV yang berkedip-kedip di setiap sudut. Dan sebuah pos jaga pribadi di depan gerbang utama yang dijaga oleh dua orang berbadan tegap berseragam safari.
“Gila,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Ia teringat pada rencana yang mereka susun. Mereka tidak bisa mengirimkannya melalui pos. Paket itu pasti akan diperiksa, dipindai, dan tidak akan pernah sampai ke tangan sang Jenderal. Mereka harus menyerahkannya langsung.
“Lo harus jadi tikus selokan, Dik,” kata Angkasa sebelum ia pergi. “Cari celah terkecil, masuk, letakkan umpannya, dan kabur sebelum mereka sadar lo pernah ada di sana.”
Dika menarik napas dalam-dalam, menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ia mengeluarkan sebuah kotak pizza dari dalam ranselnya, menyelipkan salah satu amplop itu di antara lapisan kardusnya. Lalu, dengan langkah yang ia paksa agar terlihat santai, ia berjalan mendekati benteng itu.
“Malam, Pak,” sapanya pada dua penjaga di pos.
Salah satunya, yang lebih tua dengan kumis tebal, menatapnya dengan curiga dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Ada apa?”
“Ini, Pak. Pesanan pizza atas nama Bapak Hidayat,” kata Dika, menyodorkan kotak itu.
Penjaga yang lebih muda mengerutkan kening. “Bapak enggak pernah pesan pizza malam-malam begini. Coba saya cek dulu.” Ia meraih gagang telepon.