Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #57

Gempa di Dalam Istana

Penantian adalah sebuah bentuk penyiksaan yang sunyi. Selama dua puluh empat jam setelah Dika kembali dari misinya yang nyaris merenggut nyawa, gudang persembunyian Lima Serigala terasa seperti ruang tunggu di ambang kiamat. Mereka tidak bicara. Mereka hanya menunggu. Setiap anggota memproses ketegangan itu dengan cara mereka sendiri.

Dika, yang telah membuktikan loyalitasnya dengan darah dan keringat, kini duduk diam di sudut, membersihkan pisaunya dengan gerakan lambat dan meditatif. Adrenalinnya telah habis, meninggalkan kelelahan yang dalam, namun di matanya ada ketenangan baru. Ia telah melakukan bagiannya. Ia telah menyerahkan takdir mereka pada nasib.

Nova, sang Ratu Logistik, menyibukkan diri. Ia menghitung sisa persediaan mereka, makanan instan, air mineral, kotak P3K seolah dengan mengatur hal-hal kecil yang bisa ia kendalikan, ia bisa mengabaikan kekacauan besar yang berada di luar kendalinya. Ia terus-menerus memindai portal-portal berita di ponselnya, jarinya me-refresh halaman setiap beberapa menit, mencari getaran pertama dari gempa yang akan mereka ciptakan.

Tio, di depan laptopnya, adalah pusat dari semua ketegangan itu. Ia memonitor jaringan komunikasi polisi yang berhasil ia sadap secara terbatas, mencari kata kunci: Hidayat, Darmawan, Penangkapan. Di sampingnya, Aisha terhubung melalui panggilan video yang senyap, wajahnya pucat namun sorot matanya memberikan kekuatan moral yang tak terucap.

Dan Angkasa, ia hanya berdiri di dekat satu-satunya jendela berterali, menatap ke luar ke arah langit Bekasi yang mendung. Ia telah melepaskan anak panahnya. Kini ia hanya bisa menunggu, apakah anak panah itu akan mengenai jantung naga, atau berbalik dan menusuk jantungnya sendiri. Rasa tanggung jawab atas nyawa Dika semalam, dan atas nasib mereka semua hari ini, terasa begitu berat hingga nyaris membuatnya sulit bernapas.

Getaran pertama datang menjelang sore.

***

Di dalam ruang kerja pribadinya yang dilapisi kayu jati dan beraroma cerutu mahal, Hidayat baru saja menyelesaikan panggilan telepon dengan salah satu bawahannya. Ia merasa di puncak dunia. Kemenangan Bang Jago atas Sindikat Hartono berarti posisinya semakin aman, aliran dana semakin lancar. Ia menuang segelas wiski mahal saat seorang ajudannya masuk dengan wajah tegang, membawa sebuah amplop cokelat kecil yang tampak tidak pada tempatnya di atas nampan perak.

“Ini baru saja diantar untuk Bapak,” kata ajudan itu. “Kurir tidak mau menyebutkan identitasnya.”

Hidayat mengambil amplop itu dengan kesal. Ia membukanya dengan kasar. Di dalamnya tidak ada surat. Hanya sebuah flash disk hitam tanpa merek. Dengan dengusan meremehkan, ia memasukkannya ke dalam laptopnya.

Sebuah file video langsung terputar otomatis.

Layar itu menampilkan rekaman dari kamera tersembunyi. Sudutnya rendah, seolah direkam dari sebuah kancing baju. Kualitasnya tidak sempurna, namun audionya sangat jernih. Hidayat melihat dirinya sendiri, duduk di sebuah sofa di sebuah kamar hotel remang-remang beberapa bulan yang lalu. Ia melihat dirinya menerima sebuah koper hitam dari salah satu anak buah kepercayaan Bang Jago.

Lalu ia mendengar suaranya sendiri, jelas dan tak terbantahkan.

“...pastikan saksi itu tidak pernah sampai ke pengadilan. Bereskan. Seperti biasa.”

Gelas wiski di tangan Hidayat terlepas, jatuh ke atas karpet Persia tebal tanpa suara. Seluruh darah di wajahnya seolah surut, digantikan oleh pucat pasi seorang mayat. Tubuhnya yang biasanya tegap kini terasa lemas. Ia tahu persis siapa yang merekam ini. Bocah-bocah Lima Serigala itu. Entah bagaimana, mereka berhasil mendapatkan bukti yang bisa menguburnya hidup-hidup.

Lihat selengkapnya