Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #58

Keheningan Setelah Guntur

Berita kematian seorang jenderal polisi seharusnya mengguncang sebuah negara. Namun di Jakarta, berita itu lenyap secepat ia datang. "Kecelakaan tragis" menjadi tajuk utama selama dua puluh empat jam, diisi dengan foto-foto mobil yang ringsek dan ucapan belasungkawa dari para pejabat. Keesokan harinya, berita itu terkubur di halaman dalam, digantikan oleh skandal selebriti dan kenaikan harga bahan pokok. Jejak Jenderal Hidayat telah dihapus dari muka bumi dengan efisiensi yang dingin dan brutal, seolah ia hanyalah sebuah kesalahan ketik yang telah dikoreksi.

Di dalam gudang persembunyian mereka di Bekasi, sisa-sisa Lima Serigala menyaksikan sandiwara itu dengan kengerian yang membekukan. Kemenangan mereka, momen di mana mereka merasa berhasil mengguncang istana, kini terasa seperti lelucon yang kejam. Mereka tidak mengguncang apa pun. Mereka hanya memberikan alasan bagi sang raja untuk membuang salah satu bidaknya yang sudah usang.

Euforia telah mati. Yang tersisa hanyalah kesunyian. Sebuah kesunyian yang berat, yang dipenuhi oleh realitas baru mereka yang mengerikan. Mereka kini tidak hanya melawan seorang dalang; mereka melawan sebuah sistem yang begitu kuat hingga mampu membuat pembunuhan seorang jenderal terlihat seperti kecelakaan biasa. Mereka melawan seorang dewa yang bisa menghapus nyawa dari buku sejarah hanya dengan satu panggilan telepon.

Selama tiga hari, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka terkurung dalam penjara ketakutan mereka sendiri. Gudang yang tadinya menjadi pusat komando perang kini terasa seperti sebuah bunker yang menunggu ledakan nuklir. Mereka hanya makan saat lapar, tidur saat tubuh mereka tak sanggup lagi terjaga, dan berbicara dalam bisikan, seolah dinding-dinding pun memiliki telinga.

Dika adalah yang pertama kali hancur. Ia, sang monster lapangan, prajurit yang dadanya dipenuhi oleh api, kini padam. Ia duduk di sudut tergelap gudang, tidak lagi mengasah pisaunya. Ia hanya menatap kosong ke dinding. Amarahnya yang luar biasa telah menemukan sebuah tembok yang tak bisa ia tembus, dan saat amarah itu berbalik arah, ia menghancurkan dirinya sendiri dari dalam.

“Percuma, Ang,” katanya pada suatu malam, suaranya serak dan tanpa nyawa. Ini adalah kalimat pertama yang ia ucapkan dalam dua hari. “Kita udah kalah. Sejak awal kita udah kalah. Kita cuma semut yang coba ngelawan gajah. Kita Cuma … nunggu giliran buat diinjek.”

Nova, yang sedang membagi jatah makanan instan mereka yang semakin menipis, berhenti. Ia menatap Dika dengan sorot mata yang dipenuhi oleh kesedihan. Ia ingin mengatakan sesuatu yang bisa membangkitkan semangat, namun ia tidak punya kata-kata lagi. Karena jauh di dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama.

Tio, dari sudutnya, memberikan vonis yang lebih dingin dan lebih brutal. Ia telah menghabiskan waktunya menganalisis sisa-sisa data yang mereka miliki, mencoba mencari celah, mencari kelemahan. “Secara matematis, Dika benar,” katanya, suaranya datar. “Kita enggak mungkin menang. Dia mengendalikan aparat, dia mengendalikan sebagian media, dia punya sumber daya finansial yang tak terbatas. Setiap langkah yang kita ambil, dia udah tahu sepuluh langkah di depannya. Kita enggak sedang bermain catur, Ang. Papan caturnya yang sedang bermain dengan kita.”

Angkasa hanya diam, mendengarkan keputusasaan yang meracuni udara di sekelilingnya. Ia merasakan beban dari semua itu menekan pundaknya, mengancam untuk meremukkan tulang-tulangnya. Ia adalah pemimpinnya. Ia yang membawa mereka ke sini. Dan kini ia tidak punya jawaban.

Di puncak kegelapan itulah, sebuah cahaya kecil datang dari tempat yang tak terduga. Panggilan video dari Aisha. Angkasa ragu untuk menjawabnya. Bagaimana ia bisa menunjukkan wajahnya yang penuh kekalahan pada perempuan itu? Namun, ia tahu ia harus.

Saat wajah Aisha muncul di layar laptop, senyumnya yang hangat seketika meredup melihat kondisi Angkasa. “Lang? Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Angkasa tidak bisa berbohong. Ia hanya menggeleng pelan.

Aisha tidak bertanya apa yang terjadi. Ia seolah sudah tahu. “Ibu lihat beritanya,” katanya lembut. “Tentang kecelakaan itu.” Ia berhenti sejenak. “Apa pun yang sedang kamu hadapi sekarang, Lang … Ibu cuma mau bilang satu hal.”

Lihat selengkapnya