Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #59

Rencana untuk Mencuri Mahkota

Kata “perampokan” yang diucapkan Angkasa menggantung di udara gudang yang dingin itu, sebuah ide yang begitu gila, begitu nekat, hingga seolah mampu menyetrum kembali jiwa-jiwa yang tadinya telah mati suri. Keputusasaan yang tadinya menyelimuti mereka seperti kain kafan kini tersibak, digantikan oleh sebuah energi baru yang berbahaya: energi dari orang-orang yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan selain kegagalan.

Dika adalah yang pertama bereaksi. Tatapan kosong di matanya lenyap, digantikan oleh binar liar yang telah lama hilang. Ia bangkit dari lantai, berjalan mendekati papan tulis, dan menyeringai. “Merampok,” ulangnya, seolah sedang mencicipi sebuah kata baru yang terasa begitu pas di lidahnya. “Gue suka itu.”

Nova, yang tadinya bersandar di dinding dengan bahu merosot, kini menegakkan tubuhnya. Skeptisisme di matanya berubah menjadi fokus analitis yang tajam. “Merampok benteng pribadi Bang Jago di Puncak? Itu bukan sekadar nekat, Ang. Itu gila.”

“Kita lahir dari kegilaan, Nov,” balas Angkasa, matanya menatap lurus pada Nova. “Kita jadi sebesar ini karena kita berani melakukan hal-hal yang orang lain anggap mustahil.”

Tio, dari kursi rodanya, telah membuka beberapa jendela baru di laptopnya. Jarinya menari di atas keyboard, otaknya yang super cepat sudah mulai memproses variabel-variabel dari rencana gila ini. “Gila atau tidak, itu tergantung pada data,” katanya. “Dan saat ini, kita buta. Kita tidak tahu apa pun tentang vila itu.”

Saat itulah, layar monitor yang menampilkan panggilan video dari Bunga berkedip. Gadis itu, yang sejak tadi hanya menjadi saksi bisu dari kejatuhan dan kebangkitan mereka, akhirnya angkat bicara.

“Aku tahu,” bisiknya, suaranya gemetar namun mantap. “Aku tahu tentang vila itu.”

Keheningan seketika menyelimuti ruangan. Semua mata kini tertuju pada layar, pada wajah Bunga yang pucat namun penuh tekad.

“Vila itu bukan sekadar tempat istirahat,” jelas Bunga. “Itu adalah bentengnya, tempat sucinya. Ayah membangunnya setelah Ibu meninggal. Tempat itu dijaga lebih ketat daripada istana presiden. Tapi…” ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Setiap benteng punya celah. Dan aku tahu celahnya.”

Selama satu jam berikutnya, Bunga menjadi mata dan telinga mereka. Ia membeberkan semua yang ia tahu, semua detail yang ia ingat dari kunjungannya di masa kecil. Tentang sistem keamanan berlapis yang dirancang oleh tim cyber security elite. Tentang patroli penjaga yang terdiri dari mantan anggota pasukan khusus, yang loyalitasnya pada Bang Jago melebihi loyalitas pada negara. Tentang sebuah ruang panik bawah tanah yang tersembunyi di balik perpustakaan pribadi, yang ia yakini adalah tempat di mana ayahnya menyimpan semua rahasianya yang paling kelam.

Dan yang terpenting, ia memberikan mereka sebuah jendela.

“Setiap hari Sabtu, tepat pukul tiga dini hari, seluruh sistem keamanan akan di-reboot untuk pemeliharaan,” bisik Bunga. “Hanya selama tiga menit. Selama tiga menit itu, semua sensor, semua kamera, semuanya akan mati sebelum sistem cadangan mengambil alih. Ayah menganggap tiga menit itu tidak signifikan. Tidak ada yang cukup gila untuk mencoba menyusup dalam waktu sesingkat itu.”

Lihat selengkapnya