Perjalanan menuju Puncak adalah sebuah pendakian menuju altar pengorbanan. Di dalam mobil van yang melaju menembus kegelapan jalan tol yang sepi, tidak ada yang bicara. Mereka telah meninggalkan Jakarta yang berkelip di belakang mereka, menukarnya dengan jalanan menanjak yang berkelok-kelok dan diselimuti kabut tipis. Angkasa duduk di depan, di samping Tio, menatap jalanan yang disorot lampu mobil. Di belakang, Dika dan Nova duduk berhadapan dengan dua anggota tim Alpha, wajah mereka tak terlihat di dalam kegelapan, hanya kilatan mata yang sesekali tertangkap cahaya.
Setiap orang terkurung dalam dunianya sendiri. Dika, dengan kepala bersandar di kaca jendela yang dingin, memutar ulang setiap detail dari rencana penyusupan, setiap gerakan, setiap kemungkinan kegagalan. Ia tidak lagi merasakan amarah yang membabi buta; yang tersisa hanyalah fokus yang dingin, setajam belati yang terselip di pergelangan kakinya. Nova memejamkan mata, jemarinya tanpa sadar mengetuk-ngetuk pahanya dengan ritme yang cepat. Ia sedang menenangkan badai di dalam dirinya, mempersiapkan diri untuk kembali menjadi hantu, sesosok bayangan dari masa lalu yang ia kira telah ia kubur dalam-dalam.
Dan Angkasa, ia hanya menatap kegelapan di luar. Pikirannya tidak lagi dipenuhi oleh strategi atau ketakutan. Pikirannya dipenuhi oleh satu wajah, satu suara. Aisha. Janjinya pada wanita itu, “Setelah ini selesai, enggak akan ada lagi perang. Hanya ada kita.” telah menjadi sebuah mantra, sebuah sauh yang menjaga jiwanya agar tidak hanyut ditelan oleh kegelapan yang akan mereka masuki. Ia tidak lagi berjuang demi kekuasaan atau balas dendam. Malam ini, ia berjuang demi sebuah fajar yang baru, demi sebuah kemungkinan akan kehidupan normal yang terasa begitu dekat namun juga begitu jauh.
Tepat pukul 02:30 dini hari, van itu berhenti di sebuah jalan setapak tersembunyi yang tertutup oleh rimbunnya pepohonan, beberapa kilometer dari lokasi vila Bang Jago.
“Ini titik terjauh yang bisa kita capai tanpa terdeteksi,” kata Tio, suaranya yang tenang memecah keheningan. Layar laptopnya kini menampilkan citra satelit dari kompleks vila itu, dengan titik-titik merah yang menandai posisi para penjaga. “Dari sini, kalian jalan kaki. Lima belas menit lagi menuju perimeter.”
Mereka turun dari mobil, hawa pegunungan yang dingin langsung menusuk tulang. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka kini ditutupi oleh masker kain, hanya menyisakan mata mereka yang menyala di dalam kegelapan.
Perjalanan menembus hutan kecil itu adalah sebuah ujian kesabaran. Mereka bergerak dalam formasi, Dika memimpin, setiap langkahnya nyaris tak bersuara di atas dedaunan kering. Mereka berkomunikasi hanya dengan isyarat tangan. Setelah sepuluh menit, mereka akhirnya melihatnya.
Vila itu berdiri di puncak sebuah bukit, megah dan mengintimidasi, disinari oleh lampu-lampu sorot yang membuatnya tampak seperti sebuah istana hantu di tengah lautan kegelapan. Dinding beton setinggi lima meter mengelilinginya, dengan menara-menara pengawas kecil di setiap sudut. Dari kejauhan, mereka bisa melihat siluet para penjaga yang berpatroli dengan anjing herder di sisi mereka. Ini bukan rumah. Ini adalah benteng.
“Gila,” bisik Dika di jalur komunikasi. “Tempat ini lebih mirip markas militer.”
“Fokus, Dik,” balas Angkasa. “Tio, bagaimana status?”
“Semua tim di posisi,” jawab suara Tio dari van. “Aku sudah memetakan pola patroli mereka. Ada tiga penjaga di perimeter luar sisi utara. Itu target kalian, Dika. Kalian harus bergerak secepat kilat begitu jendela waktu terbuka.”
Mereka menunggu. Detik demi detik merayap seperti keabadian, setiap desau angin terdengar seperti bisikan musuh.
“Oke, semuanya siap,” kata Tio, matanya terpaku pada jam digital di layarnya. “Sesuai info Bunga, reboot otomatis terjadwal akan dimulai dalam tiga puluh detik. Begitu sistem utama mati, aku akan coba tahan sistem cadangannya untuk memberi kalian beberapa detik ekstra. Kalian harus bergerak secepat kilat. Hitungan mundur dimulai … sekarang.”
Angkasa, Dika, dan Nova menahan napas. Ini adalah momen penentuan. Seluruh operasi mereka bergantung pada keakuratan informasi Bunga dan kecepatan Tio.
“Lima … empat … tiga … dua … satu …”
Dalam sekejap, seluruh istana hantu itu dilahap oleh kegelapan absolut. Lampu-lampu sorot padam, pagar listrik yang tadi berdengung kini sunyi. Keheningan yang tiba-tiba terasa lebih menakutkan dari apa pun. Jendela tiga menit mereka telah dimulai.
“Tim Alpha, jalan!” desis Angkasa.
Dika dan dua anak buahnya melesat dari persembunyian mereka seperti tiga ekor macan kumbang. Mereka bergerak dengan kecepatan dan kesenyapan yang mengerikan. Penjaga pertama, yang sedang kebingungan karena listrik padam, bahkan tidak sempat berteriak saat sebuah lengan mencekik lehernya dari belakang dan sebuah belati tajam menusuk titik vital di bawah tulang rusuknya. Penjaga kedua, yang sedang mencoba menghubungi pos komando melalui radionya yang kini mati, ambruk tanpa suara saat Dika melemparkan belatinya dari jarak sepuluh meter, tepat mengenai lehernya. Anjing herdernya baru saja akan menggonggong saat anak buah Dika yang lain membekap moncongnya dan mematahkan lehernya dengan satu gerakan cepat.
Tiga penjaga. Tiga nyawa. Dilumpuhkan dalam waktu kurang dari tiga puluh detik.