Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #61

Gema di Lembah Kematian

Waktu lima menit yang diminta Nova bukanlah sebuah estimasi; itu adalah sebuah vonis. Di luar pintu perpustakaan yang hancur, neraka telah meletus. Suara derap puluhan sepatu bot di lantai marmer, teriakan-teriakan komando yang marah, dan kokangan senjata semi-otomatis yang khas kini terdengar semakin dekat, semakin nyata. Mereka bukan lagi hanya menghadapi penjaga biasa. Mereka telah membangunkan seluruh garnisun pribadi Bang Jago.

Angkasa tidak membuang waktu. Ia menendang sebuah rak buku kecil yang berat, menjatuhkannya untuk membarikade sebagian pintu, menciptakan sebuah rintangan darurat. Ia menarik keluar pistol, memeriksa magazinnya. Hanya tersisa delapan peluru. Delapan peluru untuk melawan satu batalion. Ia berdiri di ambang pintu, punggungnya menghadap Nova, tubuhnya menjadi perisai manusia terakhir.

“Fokus, Nov,” katanya, suaranya tenang luar biasa di tengah kekacauan. “Dunia di luar sana urusan gue. Dunia di dalam brankas itu urusan lo.”

Di belakangnya, Nova telah berlutut di hadapan monolit baja hitam itu. Ia menarik keluar satu set alat pembobol kunci dari kantong tersembunyi di rompinya, alat-alat ramping dan berkilauan yang tampak begitu kontras dengan jemarinya yang penuh bekas luka. Ia mengenakan sebuah stetoskop di telinganya, menempelkan ujungnya yang dingin ke pintu brankas. Matanya terpejam.

Dunia di sekelilingnya lenyap. Raungan alarm, teriakan Angkasa di jalur komunikasi, semuanya memudar menjadi dengungan samar. Dunianya kini menyusut, menjadi sebuah ruang sunyi yang hanya berisi dirinya, baja dingin, dan kombinasi angka yang bersembunyi di balik putaran roda mekanis. Setiap klik pelan dari roda di dalam brankas terdengar begitu keras di telinganya, terasa seperti detak jantung dari binatang buas yang sedang ia coba jinakkan. Ini adalah sebuah keahlian dari masa lalunya yang kelam, dari hari-hari di mana ia harus mencuri untuk bertahan hidup, sebuah dosa yang ia kira telah ia kubur dalam-dalam. Malam ini, dosa itu kembali untuk menyelamatkannya.

Di luar, perang untuk membeli waktu sedang mencapai puncaknya. Dika, bersama dengan dua anak buahnya, Jaka, dan Leo terpojok di sebuah persimpangan koridor di taman, punggung mereka saling menempel, membentuk formasi segitiga yang mati-matian menahan gelombang manusia berseragam hitam yang terus berdatangan dari tiga arah.

“MEREKA TERLALU BANYAK, ANG!” teriak Dika di jalur komunikasi, suaranya nyaris tenggelam oleh suara tembakan. Sebutir peluru menyerempet lengannya, meninggalkan goresan panas yang perih. “KITA ENGGAK AKAN TAHAN LAMA!”

Jaka, sang benteng, mengayunkan sebuah pipa besi yang ia cabut dari pagar taman, menghantam dua penyerang sekaligus hingga terkapar. Namun untuk setiap dua yang jatuh, empat yang baru muncul. Leo, dengan kelincahannya, menari di antara hujan pukulan, belatinya menyambar cepat seperti taring ular, melumpuhkan lawan-lawannya dengan serangan presisi ke titik-titik lemah. Tapi mereka hanyalah tiga karang yang mencoba menahan tsunami.

Angkasa mendengar semuanya melalui earpiece-nya. Setiap teriakan kesakitan dari anak buahnya, setiap desingan peluru yang nyaris mengenai mereka, adalah sebuah paku yang menancap di jiwanya. Ia adalah sang pemimpin, namun ia terkurung di sini, hanya bisa mendengarkan pasukannya dibantai demi dirinya.

“Berapa lama lagi, Nov?!” desisnya, suaranya tegang.

“Hampir … satu angka lagi …” bisik Nova, keringat dingin membasahi pelipisnya.

Saat itulah, dari arah koridor utama, sebuah ancaman baru muncul. Bukan lagi penjaga biasa. Dua lelaki berbadan raksasa, mengenakan rompi anti peluru dan membawa senapan serbu otomatis, melangkah maju dengan tenang, menembakkan rentetan peluru yang memaksa Angkasa berlindung di balik kusen pintu yang mulai hancur. Ini adalah tim elite Bang Jago.

“Angkasa! Di belakang lo!” teriak Dika, melihat pergerakan itu dari kejauhan.

Di luar, situasi Dika semakin kritis. Jaka telah terkena dua tembakan di kakinya, membuatnya berlutut, namun ia masih mengayunkan pipanya dengan satu tangan, menggeram seperti beruang yang terluka. Leo, lengannya telah tergores sabetan pisau, gerakannya mulai melambat. Mereka terkepung.

“Kita harus buka jalan buat Angkasa!” raung Dika. Ia melihat sebuah gerbang besi taman yang berat di dekatnya. Sebuah ide gila dan putus asa terbentuk di benaknya. “Jaka! Leo! Dorong gerbang itu! TUTUP KORIDORNYA!”

Lihat selengkapnya