Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #62

Darah di Atas Kertas

Perjalanan itu adalah sebuah pelarian menembus malam yang buta, sebuah prosesi pemakaman yang bergerak dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Di dalam mobil van yang melaju di atas jalanan aspal yang retak di pesisir utara Jawa, tidak ada yang bicara. Euforia dari penyusupan yang berhasil telah lama menguap, digantikan oleh bau anyir darah dan kesedihan yang pekat. Mereka telah berhasil mencuri jantung naga, namun dalam prosesnya, mereka telah meninggalkan sebagian dari jantung mereka sendiri di lembah kematian itu.

Angkasa duduk di depan, di samping Tio, menatap kosong ke arah jalanan yang disinari oleh lampu mobil yang redup. Bahunya yang tertembak terasa berdenyut sakit, namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan badai yang berkecamuk di dalam jiwanya. Ia terus-menerus melihat bayangan Jaka, senyumnya yang terakhir, dan mendengar raungan Dika yang hancur. Ini adalah harga dari kepemimpinannya. Nyawa.

Di belakang, Dika duduk di lantai van, memeluk sebuah jaket hitam yang robek dan berlumuran darah, jaket milik Jaka. Ia tidak menangis. Amarahnya yang membara telah padam, tenggelam oleh lautan duka yang begitu dalam hingga tak bersuara. Ia hanya duduk di sana, memeluk sisa-sisa terakhir dari saudaranya, matanya yang merah menatap kosong ke dinding mobil, seolah sedang memutar ulang setiap detik dari pertempuran yang gagal itu. Setiap desingan peluru, setiap erangan kesakitan.

Nova, dengan wajah pucat dan tangan yang gemetar, sedang mencoba membersihkan dan membalut luka tembak di bahu Angkasa dengan perlengkapan P3K seadanya. Sentuhannya yang biasanya tegas kini terasa ragu. Ini bukan lagi luka perkelahian biasa. Ini adalah luka dari perang yang sesungguhnya, sebuah lubang menganga yang menjadi pengingat permanen akan taruhan yang sedang mereka mainkan.

“Tahan,” bisik Nova saat ia menekan perban di atas luka itu, membuat Angkasa meringis kesakitan.

“Bukan ini yang paling sakit,” desis Angkasa, matanya menatap Dika melalui kaca spion tengah.

Tio, di kursi kemudi, adalah satu-satunya yang masih berfungsi. Otaknya yang dingin dan logis menjadi nahkoda yang menuntun kapal mereka yang hampir karam. Ia mengemudi dengan fokus, matanya awas, mengikuti rute pelarian yang telah ia siapkan untuk skenario terburuk. Namun, Angkasa bisa melihat ketegangan di rahangnya yang mengeras. Tio adalah sang arsitek dari operasi ini. Dan di dalam cetak birunya, tidak pernah ada variabel untuk kehilangan salah satu dari mereka. Beban rasa bersalah itu kini juga menjadi miliknya.

Setelah perjalanan yang terasa seperti keabadian, mereka akhirnya tiba. Sebuah gubuk nelayan tua yang reyot, tersembunyi di balik rimbunnya pohon bakau di sebuah pantai terpencil yang bahkan tidak ada di peta. Udara asin dan bau ikan yang menyengat langsung menyambut mereka, sebuah aroma kehidupan yang keras dan jujur, begitu kontras dengan kemewahan palsu dari vila di Puncak.

Lihat selengkapnya