Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #63

Mahkota Sang Iblis

Fajar di pesisir utara Jawa tidak datang dengan kehangatan. Ia merayap masuk melalui celah-celah dinding bilik sebuah gubuk nelayan yang reyot, membawa serta udara asin yang dingin dan bau ikan yang menyengat. Di dalam gubuk yang sempit itu, sisa-sisa Lima Serigala yang hancur mencoba untuk bernapas, mencoba untuk percaya bahwa mereka masih hidup. Mereka telah berhasil. Misi bunuh diri itu, Operasi Mahkota, secara teknis berhasil. Mereka berhasil melarikan diri dari neraka di Puncak, meninggalkan jejak kekacauan dan kebingungan di belakang mereka. Namun, tidak ada euforia kemenangan. Tidak ada sorak-sorai.

Yang ada hanyalah keheningan. Sebuah keheningan yang dipenuhi oleh paranoia dan suara deburan ombak yang monoton, seolah sedang menghitung mundur sisa waktu mereka. Mereka kini adalah empat hantu, terdampar di ujung dunia, bersembunyi di sebuah desa nelayan terpencil yang Tio temukan melalui salah satu kontak lamanya dari dunia bawah tanah. Mereka telah mencuri mahkota naga, dan kini mereka tahu, seluruh kekuatan neraka akan dikerahkan untuk memburu mereka.

Angkasa duduk di lantai kayu yang lapuk, punggungnya bersandar di dinding. Ia tidak tidur selama tiga puluh enam jam. Matanya yang merah menatap kosong ke satu benda yang tergeletak di tengah-tengah mereka, di atas sebuah tikar pandan yang usang. Benda itu tidak terlihat mengancam. Hanya sebuah buku besar bersampul kulit hitam tebal, tanpa judul, tanpa tanda. Namun semua orang di ruangan itu bisa merasakan aura dingin yang memancar darinya. Itu adalah jantung sang naga. Buku besar Bang Jago.

Dika duduk di ambang pintu, menatap ke arah laut lepas, pisaunya tergeletak tak tersentuh di sampingnya. Amarahnya yang membara telah padam, digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap: sebuah pemahaman yang menakutkan akan skala kejahatan yang sesungguhnya. Nova, dengan wajah pucat, sedang mencoba membersihkan luka goresan di lengan Angkasa dengan air garam hangat dan kain seadanya, sebuah tindakan kecil yang terasa begitu normal di tengah kegilaan mereka. Dan Tio, dari sudut ruangan, menatap buku itu dari kursi rodanya dengan ekspresi seorang ilmuwan yang baru saja menemukan sebuah artefak terkutuk.

“Kita harus membukanya,” kata Tio akhirnya, suaranya serak, memecah keheningan yang telah berlangsung berjam-jam.

Tidak ada yang membantah. Dengan gerakan lambat yang terasa begitu berat, Angkasa meraih buku itu. Sampul kulitnya terasa dingin dan halus di bawah jemarinya. Ia membukanya ke halaman pertama.

Tidak ada angka. Tidak ada transaksi. Halaman pertama hanya berisi satu kalimat, ditulis dengan tulisan tangan yang elegan dan kuat:

“Untuk istriku tercinta, Karang Hawu, tempat di mana duniaku dimulai dan berakhir.”

Di bawahnya, tertempel sebuah foto hitam putih yang sudah sedikit pudar. Foto seorang wanita muda yang sangat cantik, tersenyum dengan tulus ke arah kamera, dengan Bunga kecil di pelukannya.

Melihat foto itu, Nova mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat bukti cinta dari seorang monster. Angkasa merasakan perutnya mual. Iblis ini, ternyata, juga pernah menjadi seorang manusia.

Ia membuka halaman berikutnya. Dan neraka pun tersaji di hadapan mereka.

Buku itu bukanlah sekadar buku besar akuntansi. Itu adalah sebuah kitab dosa. Setiap halaman adalah sebuah riwayat kejahatan, ditulis dengan kode-kode rahasia dan nama-nama samaran. Namun Tio, dengan kecerdasannya, dengan cepat berhasil memecahkan polanya.

“Lihat ini,” bisik Tio, menunjuk sebaris tulisan. “'Proyek Kembang Sepatu - J.H - 5M'. Di bawahnya ada tanggal, dan sebuah catatan kecil: 'masalah serikat buruh selesai'.

Ia dengan cepat mengetik di laptopnya, menghubungkannya dengan data digital yang telah mereka curi. Layar laptopnya menampilkan sebuah kliping koran lama dari lima tahun yang lalu. Judulnya: “KETUA SERIKAT BURUH PELABUHAN DITEMUKAN TEWAS, DIDUGA BUNUH DIRI.”

Lihat selengkapnya