Gagasan itu, yang lahir dari keputusasaan di sebuah gubuk nelayan yang bau garam, terasa seperti sebuah kegilaan murni saat pertama kali diucapkan. Namun, di bawah kepemimpinan Angkasa yang kini telah menemukan kembali fokusnya, kegilaan itu perlahan berubah bentuk menjadi sebuah strategi yang dingin dan menakutkan. Mereka tidak lagi meratapi apa yang telah hilang. Mereka kini sibuk mempersenjatai diri dengan satu-satunya hal yang mereka miliki: rahasia.
Gubuk reyot itu kini telah berubah menjadi pusat komando perang psikologis. Di bawah bimbingan Tio, mereka membedah buku besar Bang Jago halaman demi halaman, bukan lagi dengan kengerian, melainkan dengan ketelitian seorang ahli patologi yang sedang mencari titik lemah dari sebuah monster. Mereka tidak hanya melihat nama dan angka; mereka melihat ketakutan, keserakahan, dan dosa-dosa yang bisa dieksploitasi.
“Setiap orang di buku ini adalah bidak catur,” jelas Tio dalam salah satu sesi strategi mereka, menunjuk pada bagan rumit yang telah ia buat. “Dan setiap bidak punya dua ketakutan terbesar: kehilangan kekayaannya, dan kehilangan nyawanya. Bang Jago mengendalikan mereka dengan menawarkan perlindungan dari yang kedua, sambil terus-menerus mengancam yang pertama. Kita … akan menawarkan sebaliknya.”
Rencana mereka sederhana dalam konsepnya, namun luar biasa rumit dalam eksekusinya. Mereka akan mendekati bidak-bidak paling kuat di papan catur Bang Jago, satu per satu. Bukan dengan ancaman kekerasan, melainkan dengan sebuah penawaran bisnis yang brutal.
“Kita tunjukkan pada mereka bukti kejahatan mereka yang kita pegang,” kata Angkasa, suaranya mantap. “Lalu kita tunjukkan bukti kejahatan Bang Jago yang jauh lebih besar. Kita tunjukkan bahwa kapal yang selama ini mereka tumpangi sebenarnya dikapteni oleh seorang bajak laut gila yang siap menenggelamkan semua penumpangnya demi menyelamatkan diri.”
“Lalu kita tawarkan mereka sebuah sekoci penyelamat,” tambah Nova, matanya berkilat tajam. “Sebuah aliansi baru. Perlindungan dari kita, sebagai ganti loyalitas dan sumber daya mereka. Kita tidak meminta uang haram mereka. Kita meminta akses: informasi, koneksi, dan tempat aman.”
Dika, yang sejak awal paling meragukan rencana tanpa pertumpahan darah ini, hanya bisa mendengarkan dengan skeptis. “Lo pikir mereka bakal percaya sama kita? Sekelompok bocah yang jadi buronan?”
“Mereka enggak perlu percaya sama kita, Dik,” balas Angkasa. “Mereka hanya perlu lebih takut pada Bang Jago daripada pada kita. Dan tugas kita adalah memastikan ketakutan itu nyata.”
Target pertama mereka adalah bidak yang Tio identifikasi sebagai yang paling ideal: seorang pengusaha logistik bernama Surya Wijoyo. Di dalam buku besar itu, Surya tercatat sebagai salah satu penyumbang dana terbesar untuk “biaya operasional” Bang Jago, namun di saat yang sama, ia juga adalah korban pemerasan yang paling parah. Bisnisnya secara perlahan diambil alih, sahamnya digerogoti. Ia adalah seekor sapi perah yang sebentar lagi akan disembelih. Ia adalah kandidat sempurna: cukup kuat untuk menjadi sekutu, namun cukup putus asa untuk berani berkhianat.
Mendekati seorang miliarder yang kemungkinan besar seluruh hidupnya disadap oleh Bang Jago adalah sebuah tantangan. Tio menghabiskan waktu dua hari hanya untuk merancang sebuah metode komunikasi yang aman. Ia tidak menggunakan telepon atau email. Ia meretas sistem penjadwalan di salah satu klub golf elite tempat Surya biasa bermain, menyelipkan sebuah “undangan turnamen amal fiktif” ke dalam jadwal pribadinya. Di dalam detail undangan itu, tersembunyi sebuah alamat dan waktu pertemuan, dienkripsi dengan cara yang hanya bisa dipahami oleh seorang pebisnis cerdas.
Pertemuan itu diatur di sebuah tempat yang mustahil: di dalam sebuah gerbong kereta api eksekutif yang sedang melaju dari Jakarta menuju Bandung. Sebuah ruang publik yang bergerak, dikelilingi oleh ratusan orang asing, tempat yang paling tidak mungkin bagi Bang Jago untuk melakukan penyergapan tanpa menarik perhatian massal.
Angkasa dan Nova yang pergi. Dika dan Tio tetap tinggal, menjadi pusat komando dan tim penyelamat jika terjadi sesuatu yang salah.
Angkasa tidak lagi mengenakan kaus oblongnya. Ia mengenakan setelan jas pinjaman yang sedikit kebesaran, rambutnya disisir rapi. Di sampingnya, Nova tampak begitu berbeda dalam balutan blus formal dan riasan tipis, ia terlihat seperti seorang asisten eksekutif muda yang cerdas. Mereka adalah dua serigala yang mengenakan kulit domba.