Kembali ke persembunyian mereka di pesisir utara, Angkasa, Dika, dan Nova membawa serta sebuah kemenangan yang sunyi. Aliansi yang mereka jalin dengan Surya Wijoyo di dalam gerbong kereta yang melaju itu bukanlah sekadar rekrutan pertama; itu adalah sebuah bukti konsep. Bukti bahwa benteng Bang Jago, yang tampak begitu kokoh dari luar, ternyata penuh dengan retakan dari dalam. Mereka telah menemukan celah itu, dan kini, mereka akan menghancurkannya, bata demi bata.
Gubuk nelayan yang tadinya menjadi tempat persembunyian para buronan kini telah bertransformasi menjadi pusat dari sebuah konspirasi raksasa. Tio adalah arsiteknya. Dengan informasi intelijen baru yang mengalir deras dari Surya Wijoyo, nomor-nomor telepon rahasia, jadwal pertemuan, bahkan kebiasaan-kebiasaan pribadi dari para bidak catur lainnya.
Tio mulai memetakan seluruh jaringan saraf dari kerajaan Bang Jago. Papan tulis mereka tidak lagi hanya berisi nama; kini dipenuhi oleh garis-garis koneksi yang rumit, lingkaran-lingkaran yang menandai target-target baru, dan catatan-catatan kecil tentang kelemahan yang bisa dieksploitasi.
“Ini bukan lagi soal pemerasan,” jelas Tio dalam dewan perang mereka, matanya menyala di balik cahaya laptop. “Ini adalah soal memicu efek domino. Kita tidak perlu merekrut semua orang. Kita hanya perlu menjatuhkan bidak-bidak yang tepat, dan sisanya akan runtuh dengan sendirinya.”
Target mereka berikutnya adalah dua jenis bidak: para jenderal dan para uskup. Para jenderalnya adalah oknum-oknum aparat berpangkat tinggi yang menjadi perisai hukum Bang Jago. Para uskupnya adalah para bankir dan manajer investasi yang menjadi mesin cuci uangnya.
Dika dan Nova menjadi ujung tombak dari operasi senyap ini. Mereka bergerak seperti dua hantu di seluruh penjuru kota, mengatur pertemuan-pertemuan rahasia di tempat-tempat yang paling tidak terduga: di dalam sebuah teater bioskop yang gelap di tengah pemutaran film, di dek observasi Monas di tengah keramaian turis, bahkan di dalam sebuah ambulans yang melaju kencang, disopiri oleh salah satu anak buah Surya Wijoyo yang setia.
Setiap pertemuan adalah sebuah pertaruhan psikologis yang menguras energi.
Di sebuah kamar hotel murah di Mangga Besar, Dika berhadapan dengan seorang kapten polisi bernama Rahmat, kepala unit yang selama ini bertugas “membersihkan” TKP dari setiap operasi kotor Bang Jago. Dika tidak datang dengan ancaman. Ia datang dengan sebuah penawaran.
“Gue tahu lo punya anak perempuan yang lagi kuliah kedokteran di Jerman,” kata Dika pelan, meletakkan setumpuk foto di atas meja. Foto-foto itu bukanlah foto TKP yang mengerikan, melainkan salinan bukti transfer dari rekening Bang Jago ke rekening pribadi Rahmat, cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama sepuluh tahun ke depan. “Dan gue tahu,” lanjut Dika, mendorong selembar foto lain, “ini adalah foto lo saat masih jadi taruna muda yang idealis, sebelum Bang Jago nemuin lo.”
Rahmat menatap foto dirinya yang lebih muda, wajahnya yang penuh harapan terasa seperti sebuah tamparan.
“Bang Jago akan jatuh, cepat atau lambat,” kata Dika. “Dan waktu dia jatuh, dia akan narik semua orang bersamanya, termasuk elo. Lo bakal kehilangan segalanya. Pangkat lo, pensiun lo, dan yang paling parah, rasa hormat dari anak perempuan lo.” Ia berhenti, menatap Rahmat lekat-lekat. “Kami nawarin lo jalan keluar. Bantu kami, berikan kami semua jadwal patroli dan pergerakan tim-tim korup di bawah lo. Sebagai gantinya, saat badai datang, nama lo akan bersih. Lo bisa pensiun dengan tenang.”
Di belahan lain kota, Nova memainkan permainan yang lebih halus. Ia bertemu dengan seorang manajer investasi bernama Liana di sebuah galeri seni yang sepi. Liana adalah salah satu uskup keuangan Bang Jago, seorang wanita karier yang brilian namun terjebak dalam lingkaran setan.
“Saya tidak akan berpura-pura mengerti dunia Anda, Bu Liana,” kata Nova, suaranya tenang. “Tapi saya mengerti angka. Dan angka-angka di buku ini,” ia menunjuk tabletnya, “mengatakan bahwa Anda telah membantu Bang Jago menggelapkan dana lebih dari dua triliun rupiah.”