Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #66

Malam Para Pengkhianat

Langit di atas pesisir utara berwarna hitam tanpa bulan, seolah alam semesta sendiri telah menarik tirainya, bersiap untuk menyaksikan sebuah pertunjukan tragedi. Di dalam gubuk nelayan, keputusan telah dibuat. Kata-kata Angkasa, “Kita akan hadapi mereka di sana” menggema di udara yang asin, bukan lagi sebagai sebuah rencana, melainkan sebagai sebuah sumpah. Tidak ada lagi lari. Tidak ada lagi bersembunyi. Ini adalah pertaruhan terakhir mereka, sebuah pertarungan sampai mati di medan perang yang mereka pilih sendiri.

“Kau yakin ini akan berhasil, Ang?” tanya Nova, suaranya pelan, matanya menatap bagan alur komunikasi yang Tio gambar di atas selembar kardus bekas. “Memanggil mereka semua? Para politisi, para polisi korup, para pengusaha yang selama ini hidup di bawah ketakutan? Kau pikir mereka akan mempertaruhkan nyawa mereka untuk kita?”

“Gue enggak tahu,” jawab Angkasa jujur, matanya menatap Tio. “Tapi kita harus coba. Ini satu-satunya kesempatan kita.”

Tio mengangguk, wajahnya pucat di bawah cahaya laptopnya. Ia telah menghabiskan satu jam terakhir merancang sebuah pesan, sebuah panggilan perang digital. Pesan itu singkat, terenkripsi, dan dikirim secara serentak ke puluhan nomor rahasia dari buku besar Bang Jago.

Pesan itu berbunyi:

Sang Raja datang untuk membersihkan papan caturnya. Semua bidak yang dianggap tidak setia akan disingkirkan malam ini. Ini bukan lagi soal loyalitas pada kami atau padanya. Ini soal bertahan hidup. Kami akan membuat pertahanan terakhir di Pabrik Baja Sentosa, Cikampek. Jika kalian ingin melihat fajar besok pagi, datang dan bertarunglah bersama kami. Jika tidak, berdoalah agar namamu tidak ada di daftar pembersihan berikutnya. Pilihan ada di tangan kalian.

Setelah pesan itu terkirim, keheningan yang paling menyiksa dalam hidup mereka pun dimulai. Mereka hanya bisa menunggu. Menunggu untuk melihat berapa banyak dari pasukan bayangan yang telah mereka bangun yang akan menjawab panggilan mereka, dan berapa banyak yang akan memilih untuk bersembunyi atau, lebih buruk lagi, mengkhianati mereka kembali pada sang raja.

Satu jam berlalu. Tidak ada jawaban.

Dika, yang sedang mengisi magazin senapan serbu rampasan mendengus. “Sudah gue duga. Tikus-tikus itu cuma peduli sama diri mereka sendiri. Mereka enggak akan datang.”

“Mereka takut, Dik,” kata Nova. “Dan kita enggak bisa nyalahin mereka.”

Saat harapan mereka mulai menipis, sebuah notifikasi masuk ke laptop Tio. Sebuah pesan terenkripsi. Dari Surya Wijoyo.

Putraku sudah aman di luar negeri. Aku tidak akan lagi hidup sebagai budak. Aku akan datang.Aku akan bawa dua puluh orang terbaikku.

Sebuah kelegaan kecil membanjiri ruangan. Batu pertama telah berani melawan arus. Disusul oleh yang kedua, sebuah pesan dari Kapten Rahmat.

Aku tidak bisa membawa pasukan. Tapi aku bisa mengacaukan komunikasi mereka. Aku akan pastikan patroli polisi terdekat dari Cikampek tersesat malam ini. Semoga Tuhan melindungi kalian.

Lalu yang ketiga, dari Liana, sang bankir.

Aku sudah mentransfer sisa dana darurat ke rekening yang kau tunjuk, Tio. Gunakan untuk membeli apa pun yang kalian butuhkan. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Harapan mulai tumbuh. Ternyata, di dalam hutan yang gelap itu, masih ada beberapa serigala lain yang muak hidup di bawah bayangan sang naga.

Namun, tidak semua berita baik.

“Ang,” panggil Tio, suaranya tegang. “Gue kehilangan kontak dengan tiga orang. Seorang jaksa dan dua pengusaha. Mereka membaca pesannya, lalu mematikan semua jalur komunikasi. Kemungkinan besar, mereka sudah bocorkan rencana kita pada Bang Jago.”

Lihat selengkapnya