Konvoi itu berhenti sekitar lima ratus meter dari gerbang utama pabrik baja yang telah mati itu, membentuk sebuah bulan sabit yang mengancam di tengah kegelapan. Lampu-lampu mobil mereka yang menyala serempak menyorot ke arah pabrik, mengubah kerangka-kerangka baja yang berkarat itu menjadi sebuah panggung raksasa yang mengerikan. Ini bukan lagi sekadar gerombolan preman. Ini adalah sebuah pasukan.
Puluhan lelaki berbadan tegap, mengenakan rompi anti peluru dan helm balistik, turun dari jip-jip lapis baja dengan disiplin yang senyap. Mereka tidak berteriak. Mereka tidak mengumpat. Mereka bergerak dengan efisiensi mematikan, membentuk formasi, memeriksa senjata semi-otomatis mereka di bawah tatapan dingin seorang komandan, lelaki jangkung dengan bekas luka di wajah yang memberinya ekspresi permanen seperti sedang mencibir.
Dari atap gedung peleburan utama, Angkasa, Dika, dan Nova mengamati pemandangan itu melalui teropong malam. Skala kekuatan yang mereka hadapi jauh melampaui semua yang pernah mereka lawan. Ini bukanlah lagi Lima Serigala melawan Naga. Ini adalah sekelompok pemberontak compang-camping yang mencoba melawan sebuah legiun.
“Dia membawa semua anjing terbaiknya,” desis Dika, cengkeramannya pada senapan serbu rampasannya memutih.
“Mereka tidak akan langsung menyerbu,” kata Nova, suaranya tenang, mencoba menganalisis. “Mereka profesional. Mereka akan melakukan penyisiran terlebih dahulu.”
“Biarkan saja,” kata Angkasa, matanya terpaku pada sosok sang komandan. “Biarkan mereka masuk lebih dalam ke dalam kuburan yang sudah kita siapkan.”
Di bawah mereka, di dalam labirin koridor dan ruang-ruang produksi yang gelap, pasukan kecil mereka yang terdiri dari sisa-sisa Serigala Perkasa dan orang-orang setia Surya Wijoyo telah mengambil posisi. Mereka adalah campuran yang aneh: preman jalanan yang kini memegang senjata api untuk pertama kalinya, dan penjaga keamanan korporat yang gemetar ketakutan namun memilih untuk berdiri di pihak yang benar. Mereka adalah pasukan orang-orang putus asa.
Perintah pertama dari sang komandan musuh terdengar melalui radio yang Tio sadap. “Tim Alpha dan Bravo, sisir perimeter sayap kiri dan kanan. Tim Charlie, tetap di sini, berikan tembakan perlindungan. Bergerak.”
Dua kelompok, masing-masing sekitar dua puluh orang, mulai bergerak maju dengan formasi yang rapi, senjata mereka teracung, menyapu setiap sudut dengan senter taktis yang cahayanya membelah kegelapan seperti pedang. Mereka bergerak dengan hati-hati, dengan arogansi para profesional yang sedang membersihkan sarang amatir.
Mereka tidak tahu bahwa setiap langkah mereka sedang diawasi oleh dewa digital dari jarak puluhan kilometer.
“Mereka masuk ke Sektor B-3,” bisik suara Tio di earpiece Angkasa, dingin dan tanpa emosi. “Tepat seperti yang kita prediksi. Dika, giliran lo. Ledakkan kembang apinya.”
Dika menyeringai di dalam kegelapan. Ia mengangkat sebuah detonator kecil. “Dengan senang hati.”
Saat Tim Alpha musuh melintasi sebuah jembatan penghubung antar gedung, Dika menekan tombolnya.
BOOOOM!
Sebuah ledakan dahsyat merobek keheningan malam. Bukan ledakan yang dirancang untuk membunuh, melainkan untuk menciptakan kekacauan. Beberapa tabung gas elpiji besar yang telah mereka pasang di bawah jembatan meledak, mengubah jembatan itu menjadi bola api raksasa, memotong jalur Tim Alpha dan menjatuhkan beberapa dari mereka ke dalam kegelapan di bawah.