Ledakan itu bukanlah sekadar suara; ia adalah sebuah robekan di kain realitas. Seluruh dunia Angkasa menjadi putih dan sunyi selama sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Gelombang kejut yang menyusul kemudian menghantamnya seperti tangan tak terlihat dari seorang raksasa, melemparkan tubuhnya ke belakang hingga punggungnya menabrak dinding beton dengan keras. Udara di dalam paru-parunya tersedot keluar, dan kegelapan yang dihiasi oleh bintang-bintang kesakitan menelannya utuh.
Saat kesadarannya kembali, hal pertama yang ia rasakan adalah hawa terik yang memanggang kulitnya, yang membuat udara terasa seperti beling saat ia mencoba bernapas. Ia terbatuk-batuk hebat, mengeluarkan debu dan asap, matanya yang perih mencoba untuk fokus. Pemandangan di hadapannya adalah sebuah lukisan neraka yang hidup. Pabrik baja itu kini telah menjadi lautan api. Tangki gas raksasa yang ia tembak telah mengubah seluruh sektor pusat pabrik menjadi sebuah tungku peleburan kolosal. Api menjilat-jilat ke langit malam, melahap kerangka-kerangka baja yang berkarat, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan yang menari-nari seperti iblis. Gema amukan api yang ganas bercampur dengan rintihan para lelaki yang sekarat, baik dari pihaknya maupun dari pihak musuh, menciptakan sebuah simfoni penderitaan yang akan menghantui mimpi buruknya selamanya.
Ia telah menang.
Tapi saat ia menatap kehancuran total yang ia ciptakan, kemenangan itu terasa seperti kutukan. Ia tidak hanya membunuh musuhnya; ia telah membakar seluruh papan catur, mengorbankan bidak-bidak kawan dan lawan tanpa pandang bulu.
“Dika … Nova …”
Nama itu keluar dari bibirnya sebagai bisikan serak, sebuah doa yang putus asa. Kepanikan yang dingin, yang jauh lebih menakutkan daripada panasnya api, mulai merayap di atas sisa-sisa adrenalinnya. Di mana mereka? Di mana sisa-sisa terakhir dari keluarganya?
Ia mencoba bangkit, kakinya gemetar menahan bobot tubuhnya. Bahunya yang terluka kembali berdenyut hebat, mengirimkan gelombang rasa sakit yang tajam ke seluruh tubuhnya. Mengabaikan penderitaan itu, ia mulai berjalan terseok-seok, menyusuri puing-puing yang membara, matanya yang pedih memindai setiap sudut, setiap bayangan. Ia melangkahi tubuh-tubuh yang tergeletak, menghitam dan tak bisa dikenali. Ia tidak tahu lagi mana kawan mana lawan. Di dalam neraka ini, mereka semua hanyalah abu. Rasa takut yang paling primal, rasa takut kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa mencengkeram hatinya dengan jari-jari es.
“DIKA! NOVA!” teriaknya, suaranya nyaris hilang ditelan oleh deru api.
Lalu ia melihatnya. Di balik sebuah mesin press raksasa yang sebagian melindunginya dari dampak ledakan terburuk, ia melihat sebuah gerakan. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia berlari mendekat, jantungnya berdebar kencang penuh harap dan cemas.
Dika terbaring di sana, punggungnya bersandar di mesin, tubuhnya yang besar melindungi Nova yang tak sadarkan diri di bawahnya. Wajah Dika menghitam karena jelaga, salah satu lengannya tergores parah oleh serpihan logam yang tajam, namun ia masih bernapas. Matanya terbuka, menatap Angkasa dengan sorot lega yang luar biasa.
“Gue … kira … lo mati, Ang …” desis Dika, sebuah senyum tipis yang berlumuran darah terukir di bibirnya sebelum ia batuk hebat, mengeluarkan gumpalan asap.
Angkasa berlutut di samping mereka. Ia memeriksa denyut nadi Nova, lemah namun stabil. Ia hanya pingsan karena guncangan. Mereka selamat. Keduanya selamat. Kelegaan yang membanjiri Angkasa begitu dahsyat, begitu total, hingga nyaris membuatnya ikut ambruk. Ia menyandarkan kepalanya sejenak di baja dingin mesin press itu, memejamkan mata, mengucapkan syukur dalam hati.
Saat Angkasa sedang mencoba menyadarkan Nova, ia mendengar sebuah suara. Sebuah erangan kesakitan yang serak. Tidak jauh dari mereka, di bawah sebuah balok baja yang bengkok, terbaring sang komandan berwajah codet. Kakinya terjepit, tubuhnya penuh luka bakar, namun ia masih hidup. Matanya yang penuh kebencian menatap lurus ke arah Angkasa.
Angkasa berdiri, berjalan perlahan menghampiri musuh terakhirnya.