Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #69

Harga Sebuah Jiwa

Api di sekeliling mereka menari-nari, melukis bayangan-bayangan panjang yang bergetar di atas tanah yang basah oleh darah. Udara terasa panas dan menyesakkan, dipenuhi oleh bau hangus dari baja yang terbakar dan bau anyir dari kematian. Di tengah-tengah neraka kecil yang ia ciptakan itu, Angkasa berdiri, kebenaran dari kata-kata Bang Jago menghantamnya dengan kekuatan yang lebih dahsyat dari ledakan mana pun.

“Jadi, Angkasa?” tanya Bang Jago, suaranya yang tenang memecah keheningan yang dipenuhi deru api. “Gue enggak punya banyak waktu. Apa pilihan lo?”

Dika adalah yang pertama bereaksi. Kebingungannya berubah menjadi amarah murni yang meledak-ledak. “PILIHAN?!” raungnya, suaranya serak. Ia melangkah maju, mengangkat goloknya yang berlumuran darah ke arah mobil Bang Jago. “GUE KASIH LO PILIHAN, BAJINGAN TUA!”

Dua moncong senapan dari pengawal Bang Jago langsung mengarah tepat ke dahi Dika.

“Dik, jangan!” teriak Nova, mencoba menahannya.

“LEBIH BAIK MATI DI SINI SEBAGAI SERIGALA DARIPADA HIDUP SEBAGAI ANJING PELIHARAANNYA!” teriak Dika, matanya memerah, tidak peduli pada senjata yang mengancamnya.

Bang Jago hanya tersenyum tipis, seolah sedang melihat amukan seorang anak kecil. Ia menatap Angkasa, mengabaikan Dika. “Lo liat, Ang? Emosi. Itu penyakit yang bikin orang-orang kayak dia enggak akan pernah bisa jadi raja. Dia rela mati demi sebuah prinsip kosong. Pertanyaannya adalah, apa lo juga sebodoh itu? Apa lo rela biarin sisa-sisa keluarga lo mati di sini, demi sebuah buku?”

Nova melangkah ke depan, berdiri di antara Dika dan Angkasa. “Apa jaminannya?” tanyanya, suaranya dingin dan pragmatis. “Apa jaminan kalau kami serahkan buku itu, lo akan biarin kami pergi hidup-hidup?”

Bang Jago tertawa. “Jaminannya adalah kata-kata gue. Sesuatu yang nilainya jauh lebih berharga daripada nyawa kalian semua.”

Angkasa terdiam. Ia menatap buku di tangannya. Di dalam sana, ada keadilan. Keadilan untuk Agus, untuk Jaka, untuk puluhan korban tak bernama yang riwayat kematiannya tertulis rapi di halaman-halamannya. Menyerahkan buku ini berarti membiarkan semua kejahatan itu terkubur selamanya. Membiarkan sang iblis menang.

Lalu ia menatap Dika, yang siap mati demi kehormatan. Ia menatap Nova, yang siap bernegosiasi demi kelangsungan hidup. Mereka adalah sisa-sisa terakhir dari keluarganya.

Pikirannya melayang pada Aisha. Pada janjinya. “Saya akan pulang. Tunggu saya.”

Ia teringat pada Mentari. Pada senyumnya yang polos.

Dunia ini tidak adil. Ia tahu itu. Ia tidak bisa menyelamatkan semua orang. Ia tidak bisa memenangkan semua perang. Tapi ia bisa menyelamatkan keluarganya.

Lihat selengkapnya