Elang Angkasa: Perang Tahta

Kingdenie
Chapter #70

Langit yang Tak Pernah Tenang

Keheningan yang mengikuti ultimatum Bang Jago terasa lebih memekakkan telinga daripada ledakan mana pun. Di tengah-tengah neraka yang terbakar di Cikampek, dikelilingi oleh moncong-moncong senjata, waktu seolah berhenti. Angkasa menatap wajah mentornya, lelaki yang telah ia hormati seperti seorang ayah, dan kini melihat di matanya hanya kekosongan dingin seorang pemain catur yang baru saja mengucapkan, “Sekakmat.”

Di sampingnya, Dika menggeram, otot-ototnya menegang, siap untuk melompat maju dalam sebuah serangan bunuh diri yang sia-sia. Nova berdiri membeku, otaknya yang taktis mencoba mencari jalan keluar dari sebuah labirin yang tidak memiliki pintu. Mereka telah sampai di ujung jalan. Tunduk, dan kehilangan jiwa mereka. Melawan, dan kehilangan nyawa mereka. Tidak ada pilihan ketiga.

Angkasa merasakan sampul kulit dingin dari buku besar itu di dalam jaketnya. Di dalamnya ada keadilan bagi puluhan korban. Tapi di luar sini ada keluarganya. Janjinya pada Aisha, “Saya akan pulang” terngiang di telinganya seperti sebuah ejekan yang kejam. Bagaimana ia bisa pulang jika ia harus menjual jiwanya, atau jika jiwanya tercerai berai bersama tubuhnya di tanah ini?

Di puncak keputusasaan itulah, saat ia akan membuka mulut untuk memilih salah satu dari dua neraka itu, ponsel di sakunya bergetar. Satu kali. Sebuah getaran singkat yang terasa begitu ganjil di tengah momen apokaliptik ini.

Bang Jago mengangkat alisnya, sedikit terganggu oleh interupsi itu. “Jangan bilang ada telepon penting yang harus lo angkat, Ang?”

Angkasa, dengan gerakan yang lambat dan disengaja, merogoh sakunya. Ia tidak tahu siapa yang mengirim pesan di saat seperti ini. Mungkin Tio, mengabarkan sesuatu. Ia menatap layarnya.

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Isinya hanya sebuah foto.

Jantung Angkasa serasa berhenti berdetak. Itu adalah foto Budi. Bukan Budi yang babak belur dan kalah. Melainkan Budi yang sedang duduk santai di sebuah kafe di bandara, sebuah papan penunjuk penerbangan ke Singapura terlihat samar di belakangnya. Ia tersenyum miring ke arah kamera, dan di tangannya, ia mengangkat sebuah koran harian yang menunjukkan tanggal hari ini. Ia masih hidup. Ia telah lolos.

Di bawah foto itu, ada satu baris kalimat.

Permainan belum selesai. Sampai jumpa di babak berikutnya, Ang.

Sesuatu di dalam diri Angkasa pecah. Bukan karena amarah. Bukan karena takut. Melainkan karena sebuah pencerahan yang gila. Budi tidak mengirim pesan itu untuk menerornya. Budi, sang pengkhianat, sang oportunis ulung, mengirimkan pesan itu sebagai sebuah deklarasi kemerdekaan. Ia tidak lagi berada di pihak Sindikat. Ia tidak lagi berada di pihak Bang Jago. Ia kini adalah pemain ketiga, bidak liar yang lepas dari papan catur. Dan ia baru saja memberitahu Angkasa, bahwa papan catur sang dalang tidak lagi sempurna. Ada satu bidak yang hilang, bidak yang mengetahui semua rahasianya.

Dan di momen itu, Angkasa menemukan pilihan ketiganya.

Ia mengangkat kepalanya, menatap Bang Jago. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tertawa. Sebuah tawa yang bukan lahir dari kemenangan atau kebahagiaan, melainkan tawa yang lahir dari jurang keputusasaan yang paling dalam, tawa seorang lelaki yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan.

Tawa itu membuat Bang Jago mengerutkan kening, tidak nyaman. “Apa yang lucu, Ang?”

Lihat selengkapnya