Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #1

Solidaritas Tanpa Batas

Angkasa memacu motor dua taknya, raungan knalpot yang memekakkan telinga mengoyak keheningan sore itu. Ban motornya berputar beringas, melibas aspal yang mulai lengang seiring senja yang merayap. Langit biru perlahan luntur, berganti semburat jingga dan bayang-bayang kelabu yang perlahan menelan kota. Jemari Angkasa sedikit bergetar saat menarik tuas gas, seolah ragu tapi juga terburu. Meski jarak pulang terasa tak seberapa, benaknya terbang jauh, melayang-layang dalam kekalutan.

Baru saja, di rumah pamannya, ia harus menelan pil pahit sebuah penolakan. Hatinya pedih, serasa disayat sembilu tajam. Pamannya, adik kandung Bapaknya sendiri, sosok yang menjadi satu-satunya tumpuan harapan, justru menghunjamkan kata-kata setajam belati.

"Duit itu enggak ada saudaranya, Ang. Lo cari aja sendiri buat berobat bapak lo!" sentak pamannya dengan nada ketus dan dingin, tak memberi celah sedikit pun. Dan detik berikutnya, bibinya sudah mengusirnya tanpa ampun, seolah Angkasa adalah benalu yang harus segera dibasmi.

Angkasa berbisik lirih, "Gue cuma mau pinjam duit buat berobat bokap," seraya menelan ludah yang terasa pahit. Ia memperlambat laju motornya, mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan pahit yang terus mengejarnya. Kata-kata pamannya terngiang jelas di telinganya, berputar-putar seperti melodi sumbang yang tak bisa ia bungkam. Setiap kali teringat, rasa sakit itu menusuk lebih dalam, mengoyak benaknya.

"Duit itu enggak ada saudaranya, Ang. Lo cari saja sendiri buat berobat bapak lo!" Kalimat itu kembali menghantam, menimbulkan gelombang kemarahan dalam dirinya. "Kalau memang duit enggak punya saudara," gumam Angkasa getir, "setidaknya dia sadar kalau dia itu adiknya Bapak. Dulu, Bapak selalu ada buat dia waktu dia susah. Dasar enggak tahu balas budi!"

Angkasa kembali menarik gas motornya, rasa hampa menggerogoti dadanya. Mungkin paman dan bibinya memang tak mengerti betapa berat beban yang sedang ia pikul. Ia hanya butuh sedikit uang untuk biaya berobat bapaknya, tak perlu banyak, seratus ribu rupiah saja sudah lebih dari cukup untuk membawa bapaknya ke klinik langganan.

Saat hampir tiba di perempatan dekat sekolahnya, sebuah suara memanggilnya, memecah lamunannya yang keruh. "Ang ... Angkasa!"

Angkasa, dengan rambut gondrong yang dibiarkan acak-acakan dan jaket jeans lusuh yang seolah jadi kulit kedua, menepikan motornya. Dika, teman sekelasnya, berlari menghampiri dengan wajah gelisah. Di belakang Dika, terlihat teman-teman lain dengan raut muka penuh ketegangan dan amarah. Mereka adalah siswa-siswi SMA Jayadwipa yang tak pernah tunduk pada aturan, sering terlihat dengan seragam yang dimodifikasi, rambut berwarna-warni, dan tindikan terselip di sana-sini.

Tio yang biasanya tenang dengan kemeja flanel kebanggaannya, kali ini wajahnya tampak berbeda, kerutan cemas terlihat jelas. Nova yang penuh semangat, dengan potongan rambut pixie berani dan anting hoop besar, berdiri di sampingnya. Sementara Budi, yang sering terlihat dengan topi beanie dan kaus band favoritnya, memendam amarah. Ada juga beberapa wajah lain yang sepertinya sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi.

"Ada apa, Men?" tanya Angkasa sambil turun dari motornya. "Ramai banget sih? Mau pada ke mana?" Ia menatap kerumunan di belakang Dika.

"Kita mau menyerang SMK Aztec!" sahut Dika dengan nada penuh semangat. Matanya yang berkilat tekad menunjukkan bahwa ini bukanlah perkara sepele.

Angkasa terkejut, matanya membelalak. "Menyerang Aztec? Mengapa? Ada masalah apa?" tanyanya, menatap wajah Dika, mencari jawaban lebih dulu dari sorot matanya.

"Si Fadli kemarin jadi korban mereka! Dia dihajar habis-habisan pulang futsal, Ang! Kita enggak bisa tinggal diam, kita harus balas!" jawab Dika, raut wajahnya dipenuhi amarah yang membara.

"Si Fadli mana? Anak kelas kita?"

"Bukan, Ang. Si Fadli adik kelas kita."

Lihat selengkapnya