Elang Angkasa: The Beginning

Kingdenie
Chapter #2

Jasad Sang Bapak

Angkasa dan teman-temannya merayakan kemenangan mereka di basecamp. Bukan pertama kali siswa SMA Jayadwipa bentrok dengan SMK Aztec dan sering kali tidak ada pemenang di antara mereka karena yang ada hanyalah korban yang harus dirawat.

Angkasa pamit lebih dulu karena dia khawatir dengan keadaan Bapaknya yang terbaring sakit. Dia menarik gasnya dengan kencang supaya tiba lebih cepat di rumah. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan di dadanya. Gelombang cemas yang dingin mulai merayap di sepanjang urat nadinya, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram erat jantungnya.

Ada apa dengan Bapak?

Tiba-tiba, telepon genggam di saku jaket denimnya bergetar. Ia menatap layar ponselnya, tertulis nama yang sudah sangat dikenalnya, adiknya Mentari. Dengan tangan bergetar Angkasa mengangkatnya, ia berharap yang akan diterimanya bukanlah kabar buruk.

“Halo, Ta?” suara Angkasa terdengar serak, cemas.

Di ujung telepon, suara Mentari terdengar terisak, seperti ada yang menahannya untuk berbicara. Ada keheningan sesaat yang terasa semakin panjang, sebelum akhirnya suara Mentari terdengar lebih jelas, penuh dengan kepedihan yang tak terungkap.

“Bang … Bapak ... Bapak sudah ... sudah pergi, Bang,” suara Mentari terputus-putus, isaknya tak bisa dibendung.

“Bapak sudah enggak ada, Bang ... ”

Angkasa merasa dunia seolah berhenti berputar. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya seperti diserang rasa beban yang begitu berat. Sejenak, ia tidak bisa merespons, hanya mendengarkan isak adiknya di ujung telepon. Kata-kata itu, yang sebenarnya sudah ia takutkan sejak tadi pagi, kini datang begitu nyata dan menusuk jauh ke dalam hati.

“Tari ... kamu yakin?” Angkasa bertanya, suaranya serak, meskipun ia tahu jawabannya. Terlalu cepat. Semua ini terlalu cepat.

“Iya, Bang ... Bapak ... ” Mentari kembali terisak. “Bapak sudah enggak ada. Bapak ... Bapak sudah meninggal, Bang ... ”

Kata-kata itu begitu sulit untuk diterima. Angkasa merasakan dunia seakan berputar begitu cepat. Dalam kepalanya, muncul bayangan Bapak, wajah yang penuh kehangatan, yang selalu memberikan nasihat setiap kali Angkasa mulai keluar jalur. Kini, semua itu lenyap dalam sekejap. Sementara di telepon, Mentari terus menangis, semakin terisak, dan Angkasa merasa sebuah rasa bersalah yang mendalam semakin menekan dadanya.

Lihat selengkapnya